Translate

Friday, December 13, 2013

Bukittinggi Kini


Beberapa waktu lalu, saya mengajak mahasiswa-mahasiswa saya dari Padang ke Bukittinggi. Mereka saya tugaskan praktek fotografi dengan berbagai objek yang ada di Bukittinggi. Foto-foto tersebut kemudian dipresentasikan dan didiskusikan.

Melihat hasil-hasil foto yang dipresentasikan mahasiswa saya, saya merasa tertampar. Tampak betapa kota kelahiran saya itu tidak lagi seelok dulu. Sebetulnya degradasi Bukittinggi ini sudah saya rasakan sejak sekian lama, namun lewat foto-foto itu saya makin tersadar. Bukittinggi tidak hanya mengalami stagnansi pembangunan, tapi kemunduran perkembangan.

Pasar bawah yang menjadi sentra ekonomi masyarakat kecil semrawut, becek dan bau. Pengelompokan pedagang sudah tidak pada tempatnya. Pedagang ayam hampir berada di setiap los, yang tidak bagus untuk kesehatan.

Kendaraan umum dan pribadi yang semakin banyak di jalanan tidak disertai pengembangan dan kebijakan yang lalu lintas yang terencana. Akibatnya, kemacetan menjadi hal yang biasa setiap pagi dan petang.

Kebersihan kota juga tidak terjaga. Kebiasaan masyarakat yang suka buang sampah sembarangan tidak disertai aturan keras pelanggar kebersihan membuat Bukittinggi tidak lagi indah. Gundukan sampah dan remah-remah sampah kecil tampak nyata di berbagai tempat. Pengelolaan sampah yang masih mengandalkan Ngarai sebagai pembuangan akhir, hanya akan merusak lingkungan dan mengancam kesinambungan alam bagi generasi mendatang.

Jam Gadang yang menjadi ikon Bukittinggi sekarang seolah menjadi pasar baru. Di area bangunan historis itu bukan lagi taman untuk bersantai, tapi untuk berjualan dan belanja. Hanya butuh peresmian saja untuk membuat area Jam Gadang sebagai pasar, karena aktivitas jual beli sudah berlangsung cukup lama di sana.

Rasanya sudah lebih satu dekade, pembangunan fisik di Bukittinggi tidak  berarti buat masyarakat banyak. Pembangunan mental dan spritual masyarakat juga tidak ada terbukti tidak ada perubahan sikap kaum urban yang bisa membuat kota jadi lebih baik. Parkir liar, pengemis, dan premanisme melengkapi ironi Bukittinggi.

Tulisan kali ini bertujuan untuk mengubah cara berfikir dan bersikap generasi muda Bukittinggi menjadi kaum urban yang bertanggung jawab. Sementara untuk pemerintah Kota Bukittinggi, diperlukan komitmen terhadap pembangunan berkesinambungan; baik untuk generasi sekarang dan generasi masa depan. Hanya berada di ruang kantor tidak akan membuat Bukittinggi kembali jadi Kota Wisata. Keluarlah, sesekali menjadi rakyat akan membuat  kebijakan yang cermat.

Bisa karena Terbiasa


Awal Desember ini dikejutkan dengan gebrakan Kemenkes yang mencanangkan Pekan Kondom Nasional (PKN). Terlepas dari niat untuk mendukung penanggulangan AIDS, tidak disangkal kalau program ini menuai protes. Wajar karena distribusi gratis kondom dianggap akan membiasakan masyarakat pada hubungan bebas.

Saya masih ingat masa-masa kuliah dulu. Kondom adalah barang yang sangat ajaib, jarang bisa mendapatinya. Membicarakannya merupakan topik yang hangat tentunya.

Sekarang, saking biasanya membicarakan alat kontrasepsi itu bukan lagi milik kaum dewasa. Anak-anak pra kuliah atau mungkin yang SMP pun tidak lagi tabu membucarakannya secara terbuka. Masyarakat kita sudah begitu terbiasa dengan kondom.

Kondom barangkali bisa dianggap sebagai salah satu pencegah penyebaran HIV/AIDS. Namun, dengan mendistribusikannya secara cuma-cuma kepada masyarakat dan mahasiswa akan membuat mereka yang tidak kepikiran menggunakan, justru jadi kepikiran mau diapakan. Tul gak?

Sebenarnya bukan soal PKN saja. Dulu,  zaman saya SMP, pacaran hanya sebatas jalan berdua, tanpa pegang-pegangan. Itupun udah malu rasanya. Sekarang, kalo jangankan melihat sepasang siswa SMP yang pegang-pegangan, perilaku menyimpang mereka pun divideokan. Karena masyarakat makin terbiasa dengan kebebasan.

Ibarat pepatah, alah bisa karena terbiasa. Kalau memang mau menyelamatkan generasi muda, semestinya pemerintah mencari kebiasaan-kebiasaan baru yang harus diperingati. Kenapa tidak buat pekan salat berjamaah misalnya. Pekan anti rokok. Pekan tanpa Miras dan berbagai pekan baik lainnya yang bisa membuat kita terbiasa dengan perilaku baik pula. Bukannya dengan pekan yang justru membuat kita akan terbiasa degradasi walaupun berbalut niat yang baik