Translate

Friday, December 13, 2013

Tukang Cukur Saya


Pertengahan pekan ini saya potong rambut ke hair dresser langganan saya. Sebenarnya belum terlalu lama saya mempercayakan pengguntingan rambut ke dia, tapi saya merasa cocok. Selain dia bisa memenuhi tuntutan model yang saya inginkan, dia juga enak diajak bicara. Klop deh.

Untuk urusan rambut, tentu dia sudah  ahlinya. Namun yang menarik untuk diceritakan adalah kemampuan komunikasinya. Dia bisa mengimbangi pembicaraan saya dengan baik tentunya disertai kesopanan seorang penjual jasa.

Dia bukan tipikal penata rambut yang isi pembicaraannya adalah isu infotainment. Dia juga tidak bergosip tentang pelanggan-pelanggannya dengan cara gemulai. Dia bisa diajak bicara tentang soal kekinian. Dan pandangan-pandangannya pun cukup tajam.

Awalnya saya tidak begitu tertarik berbicara dengan dia. Dan saya pun bukan tipe orang yang suka bercerita pada orang yang tidak begitu dikenal. Tapi ya itu tadi, dia mampu membawakan diri sehingga saya mau buka mulut dan diajak bicara.

Dan pekan inilah saya baru tahu kalau ternyata dia sedang kuliah. Cukup berumur untuk orang seusia dia. Dan rupanya dia pun masuk kuliah saat dia telah lama menekuni profesi sebagai tukang pangkas. " Kuliah itu untuk membuka cakrawala, bukan untuk nyari kerja," ujarnya mengomentari aktivitas akademiknya itu.

Saya lantas paham dari mana kemampuan komunikasinya itu berasal. Ucapannya mengandung bobot lebih dari seorang tukang cukur biasa. Dan itu membuat dia tampak lebih.

Banyak juga orang yang kuliah, bahkan sejak menamatkan bangku sekolah atas. Namun, perilaku dan kemampuan komunikasinya tidak lebih baik dari skill anak SMA. Bagi kelompok seperti ini, kuliah hanyalah untuk mencari nilai dan ijazah. Teori ilmu mungkin sedikit bertambah, tapi lingkar wawasan masih segitu saja. 

Peradaban Hong Kong


Masih sedikit cerita tentang Hong Kong. Kali ini saya hendak meceritakan perihal perilaku masyarakat Hong Kong yang tertib dan disiplin. Melihat sikap baik mereka dalam hal ketertiban dan kedisiplinan itu, saya sempat tidak percaya kalau saya berada di Asia.

Saya sempat terkaget-kaget awalnya melihat budaya tertib mereka. Sewaktu hari pertama ketika akan berkeliling naik bus, saya tidak begitu perhatian kalau para calon penumpang berdiri berjejer karena sedang antri. Ketidak-tahuan itu membuat saya menyelonong begitu saja masuk bus. 

Kebiasaan antri ketika hendak naik bus ini malah lebih baik daripada kebiasaan orang-orang barat di negara Eropa. Pernah ketika hendak balik ke penginapan, pada waktu petang hari, saya melihat dari atas bus antrian penumpang sampai belasan meter. meski sudah mulai gelap dan semua orang merasa penting untuk segera pulang, tidak satupun dari mereka yang terlihat berdesak-desakan. Tidak hanya bus, kebiasaan ngantri ini juga berlaku saat hendak naik taksi di terminal taksi. Semua orang sabar menanti giliran taksi mereka datang. 

Yang lebih menakjubkannya lagi, masyarakat Hong Kong pun menerapkan budaya ngantri untuk masuk lift. Saat keluar dari lift restoran, saya terkejut melihat ternyata cukup banyak orang yang sudah antri untuk masuk lift. Sekali lagi mereka tidak berdesak-desakan. Dan kebiasaan itu berlaku untuk aktivitas-aktivitas lainnya.

Kedisiplinan masyarakat Hong Kong juga terlihat dan terasa di setiap sudut. Mereka tidak sembarangan buang sampah. Meski penduduknya padat, namun jalanan dan setiap tempat terjaga bersih dan rapi.

Saya tidak mengada-ngada. Namun melihat onggokan sampah atau tebaran sampah, adalah suatu kejadian yang tidak saya alami selama di Hong Kong. Jangankan melihat sampah besar bertebaran di jalan, kepingan sampah kecil seperti puntung rokok, bungkus permen atau ampas permen karet saja saya tidak dapati.

Jujur, saya sangat salut pada sistem dan pengaturan Hong Kong. Setiap kali berada di tempat-tempat semaju dan semodern Hong Kong itu, saya berharap negara ini juga akan berubah seperti itu nantinya. Tidak hanya berkembang dalam bentuk fisik, tapi juga perilaku bangsanya yang beradab.