Pertengahan pekan ini saya potong rambut ke hair dresser langganan saya. Sebenarnya belum terlalu lama saya mempercayakan pengguntingan rambut ke dia, tapi saya merasa cocok. Selain dia bisa memenuhi tuntutan model yang saya inginkan, dia juga enak diajak bicara. Klop deh.
Untuk urusan rambut, tentu dia sudah ahlinya. Namun yang menarik untuk diceritakan adalah kemampuan komunikasinya. Dia bisa mengimbangi pembicaraan saya dengan baik tentunya disertai kesopanan seorang penjual jasa.
Dia bukan tipikal penata rambut yang isi pembicaraannya adalah isu infotainment. Dia juga tidak bergosip tentang pelanggan-pelanggannya dengan cara gemulai. Dia bisa diajak bicara tentang soal kekinian. Dan pandangan-pandangannya pun cukup tajam.
Awalnya saya tidak begitu tertarik berbicara dengan dia. Dan saya pun bukan tipe orang yang suka bercerita pada orang yang tidak begitu dikenal. Tapi ya itu tadi, dia mampu membawakan diri sehingga saya mau buka mulut dan diajak bicara.
Dan pekan inilah saya baru tahu kalau ternyata dia sedang kuliah. Cukup berumur untuk orang seusia dia. Dan rupanya dia pun masuk kuliah saat dia telah lama menekuni profesi sebagai tukang pangkas. " Kuliah itu untuk membuka cakrawala, bukan untuk nyari kerja," ujarnya mengomentari aktivitas akademiknya itu.
Saya lantas paham dari mana kemampuan komunikasinya itu berasal. Ucapannya mengandung bobot lebih dari seorang tukang cukur biasa. Dan itu membuat dia tampak lebih.
Banyak juga orang yang kuliah, bahkan sejak menamatkan bangku sekolah atas. Namun, perilaku dan kemampuan komunikasinya tidak lebih baik dari skill anak SMA. Bagi kelompok seperti ini, kuliah hanyalah untuk mencari nilai dan ijazah. Teori ilmu mungkin sedikit bertambah, tapi lingkar wawasan masih segitu saja.