Rumah
petak tempat tinggal kami dimiliki Pak Rajis. Aku tidak pernah tahu entah siapa
nama lengkapnya. Namun begitulah ia akrab dipanggil oleh orang-orang di Kampung
Paduan. Pada dasarnya, Pak Rajis seorang yang kaya karena harta orang tuanya. Dari
amak dan bapaknya dia memperoleh
beberapa tanah dan rumah petak untuk disewakan di Kampung Paduan.
Melihat
fisik dan penampilannya ibarat menyaksikan tokoh antagonis seorang rentenir
yang ada di sinetron-sinetron atau tuan takur tak punya hati di film-film
India. Nyatanya, Tuan Takur adalah julukan yang diberikan orang-orang di
belakangnya. Suatu kebetulan ada kemiripan nama antara Rajis dan Raju, yang
sering disebut di film India.
Umur
Pak Rajis hampir setengah abad. Tubuhnya besar, membulat di bagian perut. Kulitnya
kasar berwarna hitam legam. Mukanya banyak ditumbuhi keratosis seroboik, bintik-bintik kehitaman, terutama di bagian leher,
pipi dan area mata. Hidungnya bulat dengan pori-pori besar dan bopeng bekas
liang jerawat. Matanya merah membelalak seperti orang yang baru saja mengejan teramat
keras. Hampir seluruh jari tangannya yang gemuk-gemuk pendek dipasangi ikat
cincin dari besi putih berbatu akik besar-besar. Di bawah dagunya yang seperti
bertembolok, melilit rantai emas besar. Tidak puas dengan aksesoris di sekujur
tubuhnya itu, ia melapisi pula dua gigi seri bagian atasnya dengan emas.
Kehadiran
Pak Rajis selalu menebar teror psikologis di sekelilingnya. Konon ia adalah
mantan preman yang sering keluar masuk kandang situmbin[1].
Kasusnya banyak, mulai dari berjudi, menipu, melakukan penganiayaan dan
berbagai perbuatan keji lainnya. Kebiasaan lain tuan takur satu ini adalah senang
main perempuan. Istri dan jandanya banyak, konon karena hasil jimat-jimat dan
jampi-jampi dari kebiasaanya yang pedukun. Konon kabarnya, selain di Kampung
Paduan, ia juga punya tanah yang diperoleh
dari wanita-wanita kaya yang dikawininya. Sungguh kalau melihat jasadnya,
tidak ada yang akan menyangsikan kisah konon itu.
Orang
tua Pak Rajis tinggal di Kampung Paduan, di rumah kedai yang bersebelahan
dengan pangkal Rumah Petak. Mereka adalah pemilik kontrakan itu meski uang sewa
penghuninya selalu jatuh ke tangan Pak Rajis.
Sama
seperti kami, bagi pasangan jompo tersebut kedatangan Pak Rajis tidak pernah
diharapkan. Sifat jahanamnya membuat kedua orang tua tersebut tidak merasa nyaman dan takut akan kehadiran
darah daging mereka sendiri.
Pernah
pada suatu siang yang tenang, saat orang-orang malas ke luar karena panas siang,
warga dikejutkan lengkingan pilu laki-laki tua. Raungan itu berasal dari kedai
milik Bapak si Tuan Takur. Tidak berapa lama berselang, Pak Rajis bergegas
keluar dari rumah kedai itu. Wajahnya yang hitam kian kelam pekat. Matanya liar
dan merah nyalang.
“Anak
durhaka! Belum puas juga kau menyiksa kami. Keluar dari rumah den..[2]!”
teriak Ibu Pak Rajis dari dalam mengiringi kepergiannya.
Baru
setelah Pak Rajis benar-benar pergi warga berani melihat ke dalam rumah. Di
dalam, Ibu Pak Rajis terduduk meratapi suaminya yang terkulai lemah di pinggir
tangga kayu, penghubung kedai yang di lantai bawah dengan bilik-bilik di lantai
atas. Tubuh lelaki kurus kecil itu gemetar. Ia berkata-kata gagap tidak jelas.
Mukanya pucat, dari pelipisnya mengalir darah segar.
“Apa
dosa kami sampai punya anak durhaka seperti itu?” ratap Ibu tua itu sambil
menghapus luka suaminya dengan ujung selendangnya. Mukanya basah karena air
mata, sementara suaminya masih tergagap-gagap menahan sakit. Dari penuturan
singkat ibu tua itu diketahui kalau suami dan anaknya baru saja bersitegang
karena Pak Rajis memaksa Bapaknya menjual tanah lagi untuk menutup hutangnya
akibat kalah berjudi. Namun bapak tua itu bersikukuh kalau tanah itu tidak akan
dijual terlebih untuk penutup hutang anaknya itu. Sudah banyak harta mereka
yang ia peloroti. Penolakan itu kontan membuat si Malin Kundang kalap. Setelah
sempat beradu fisik, bapak yang sudah uzur itu kalah dan dia terdorong jatuh dari
atas tangga hingga terjeremban ke lantai bawah.
*
Setiap
Pak Rajis datang ke rumah kami, aku selalu bersembunyi di balik pintu. Sementara
Abang dan Uni memilih lari ke dapur atau ke luar rumah. Dari raut mukanya yang
melihat ketakutan kami, Aku tahu kalau Pak Rajis menikmati horor yang ia
timbulkan. Kadang ia sengaja menyeringai atau membelalakkan mata ke sela pintu
tempat aku bersembunyi. Sepertinya dia tahu aku mengintip dari balik celah
pintu. Dan nyaliku langsung ciut.
Dari
segi perhitungan, praktiknya kami bertemu dengan Pak Rajis hanya sekali
setahun, yaitu setiap kali uang sewa dibayarkan. Tapi pemilik kontrakan yang
satu ini memang durjana yang menikmati tekanan pada orang-orang lemah. Ia acap
muncul ke kontrakan kami sambil membahas soal tetek bengek rumah yang tidak
penting. Sementara kepada keluarga tetangga yang berpangkat dan saudagar
daging, Rajis menunjukkan sikap sedikit segan. Ia gampang melunak. Mana mau ia
melawan orang berpangkat kalau tantangannya masuk bui lagi. Atau mana mungkin
ia berani bersitegang dengan pedagang daging yang lebih muda dengan otot lebih
besar dan padat. Terlebih lagi para pedagang daging juga punya persatuan nan solid
sesama pedagang terdiri dari orang-orang yang tidak kalah tegap dan kekar.
Maka
Abah yang bertubuh kecil dan tidak banyak bicara serta Ibu yang juga pendiamlah
korban empuk buaya tua itu. Kepada Abah dan Ibu, Pak Rajis sering meminta uang
kontrakan jauh sebelum akhir kontrak jatuh tempo. Kadang ia mengeluhkan kalau
rumahnya rusak sehingga butuh uang perbaikan, walau perbaikan yang dia katakan
tidak pernah dikerjakan. Selalu ada saja alasannya untuk memeras dan meminta
uang tambahan dari kami.
Pernah
suatu waktu, Ibu tinggal di rumah dan Abah yang pergi ke Pasar. Meski tidak
terlalu sering, pergantian ini dilakukan untuk mengimbangi kedekatan dan
perhatian pada kami.
Saat
itu Ibu yang telah selesai dengan segala urusan rumah dan keperluan kami,
sedang mandi. Ibu tiba-tiba mendengar pintu kamar mandi diketok. Mengira itu
adalah ketokan salah seorang dari kami, Ibu membuka sedikit pintu dan
mengulurkan muka. Wajah Ibu mendadak pasi melihat di depan kamar mandi sudah
berdiri Pak Rajis sambil menyeringai ke arahnya. Mata merahnya melirik liar.
Ibu langsung membanting dan mengunci pintu kamar mandi.
“Ada keperluan apa Bapak
masuk rumah tanpa minta ijin dulu?” Tanya ibu terbata, suaranya serasa tercekat
di tenggorokan. Pikiran ibu langsung pada reputasi kejahatan kelamin Pak Rajis
terhadap perempuan. Tubuh kecilnya yang hanya berbalut handuk bergetar.
“Hei..
apa urusan kau menyuruhku minta ijin dulu. Ini rumah den. Kau hanya
penyewa di sini!” salak Pak Rajis dengan suara meninggi. Kata “kau” untuk
sebutan orang kedua bagi perempuan Minang adalah ungkapan yang kasar.
“Tapi
suami saya sedang tidak ada di rumah dan tidak pantas Bapak masuk begitu saja
ke dalam,” balas Ibu yang tidak berhenti menggigil ketakutan.”Sebaiknya Bapak
keluar sekarang atau saya akan berteriak!”
“Kalera[3]
mah!! Den pula yang kau
ajari!” teriaknya menyerupai gonggongan sambil memukul keras pintu kamar mandi.
Dentuman
hebat dari balik pintu membuat jantung Ibu seakan lepas. Ibu tergagau sambil membaca
istighfar. Dengan gigi yang ikut bergemeletuk ibu berdoa agar laki-laki itu
segera pergi. Punggungnya ia sandarkan keras ke pintu yang sudah langsung ia
pasak setelah melihat Pak Rajis.
Setelah
dentuman keras itu, Ibu tidak mendengar ada suara apa-apa lagi. Hampir satu jam
Ibu berada dalam kamar mandi yang kecil itu, memastikan kalau Pak Rajis sudah
pergi dari rumah. Ibu baru keluar setelah Abang masuk rumah mencari-cari Ibu
minta dibuatkan susu. Begitu pintu terbuka, Ibu langsung memeluk Abang sambil
sesegukan. Abang yang tidak tahu menahu ikut menangis dalam pelukan erat Ibu.
Tuntaskan kelanjutannya di Bab berikutnya....
2 comments:
this part is pretty fresh and it surprises your faithful readers actually. we are waiting to see what harms and conflicts this character is going to bring to the family....a very nice description of the character that horror was to followed after reading that description...ugly and disgusting man...I personally was very worried about ibu's well being when this monster was banging the fragile toilet door...well done
this part is pretty fresh and it surprises your faithful readers actually. we are waiting to see what harms and conflicts this character is going to bring to the family....a very nice description of the character that horror was to followed after reading that description...ugly and disgusting man...I personally was very worried about ibu's well being when this monster was banging the fragile toilet door...well done
Post a Comment