Translate

Monday, December 19, 2011

Mr. Mom


Seperti pagi-pagi sebelumnya, Abah telah selesai mengerjakan pekerjaan rumah sebelum matahari merangkak tinggi. Abah telah menyudahi urusan dapur sehingga ketika kami, ketiga anaknya bangun, tidak perlu berlama-lama merengek meminta makan. Kain kotor telah pula siap dicuci.
Setiap pagi setelah bangun, rumah kontrakan yang cuma punya satu ruang tamu, satu kamar tidur dan dapur yang sekaligus menjadi ruang makan itupun kami dapati tidak lagi berantakan seperti saat kami tinggalkan sebelum tidur. Sementara itu, Ibu telah lebih dulu berangkat ke pasar untuk berjualan cabe dan sayur mayur. Ibu baru pulang sore, menjelang azan Magrib berkumandang.
Dari sudut pandang budaya, lakon hidup yang diperankan Abah dan Ibu bertentangan dengan jamaknya peran pasangan suami istri di Minangkabau. Ibu yang mencari uang sedangkan Abah bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga dan mengurus anak-anak. Kalau pagi hari Ibu sudah berangkat ke pasar, maka pagi hari Abah berbalut sarung dan berbaju singlet sudah siap pula dengan kerjanya menjemur kain di depan rumah.
Pembagian lakon yang tidak lumrah antara Abah dan Ibu ternyata menggelisahkan warga Kampung Paduan, terutama kelompok Orang Muka. Bagi mereka kondisi ini sangat tidak wajar, mengusik hati para kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Pada para suami, apa yang dilakukan Abah adalah penghinaan dan dianggap telah merendahkan maskulinitas seorang kepala keluarga. Sementara para istri menaruh iri pada Ibu namun mencerca dengan menuding sebagai istri durhaka dan otoriter.
Kalau dikaji, peran Abah dan Ibu yang dianggap bertentangan dengan kejamakan di tengah masyarakat itu tidak berlawanan dengan budaya Minang nan menganut paham matriarki. Substansinya budaya kami menyenyajarkan posisi pria dan wanita dalam berusaha, baik dalam urusan domestik maupun professional dan membebaskan perempuan dalam mengambil keputusan.
Itu adalah idealnya. Pada masa itu, perempuan boleh saja bekerja namun segala urusan rumah tangga tetap tidak lepas dari tangan mereka. Laki-laki pantang turun ke dapur. Kaum pria bebas mengelana, bekerja di luar, maota-ota[1] sambil main domino di lapau atau mempertebal agama dan tidur di surau, namun ketika pulang, mereka tetap meraja. Kepada para perempuan di rumahlah kain kotor mereka diberikan dan tempat syahwat dilepaskan. Perempuan bisa dicap tidak bermartabat kalau membiarkan suami ikut mengurus dapur sumur dan kasur.
Di tengah diskursus nilai matriarki itu, pergantian peran Abah dan Ibu adalah sebuah kejanggalan, penghinaan dan tidak memiliki nilai kepatutan. Abah dan Ibu dikucilkan. Keluarga kami hidup di tengah atmosfir kedengkian, hujanan gunjing, cacian dan penghinaan. Abah disebut suami takut istri, kepala rumah tangga pandir yang mau diatur saja istrinya. Dan Ibu dinilai otoriter yang tidak percaya pada suami. Akibatnya, keluarga kami sering tidak diajak ikut pertemuan warga yang menyangkut kegiatan Orang Muka. Ketika Abah atau Ibu melewati kumpulan Orang-orang Muka itu, pandangan merendahkan, cibiran dan sindirian selalu mengiringi.
Kata Ibu, sebenarnya bukan cuma perbedaan tugas rumah tangga antara Abah dan Ibu saja yang membuat keluarga kami direndahkan para tetangga. Kondisi perekonomian kami yang memang tidak semapan keluarga Orang Muka lainnya membuat kami terpinggirkan. Pergantian tugas antara Abah dan Ibu adalah bukti ketidakmapanan keluarga kami di lingkungan mereka. Bagi mereka, kehadiran kami di bagian muka adalah suatu kesalahan. Kami ibarat stetes nila dalam sebelangan susu, secuil noda di kain cucian atau tahi lalat di wajah mulus Cici Paramida yang harus dibuang.
Betul kami tidak kaya tapi kami juga bukan keluarga miskin. Perlakuan Perlakuan Orang-orang Muka itulah yang membuat kami merasa lebih miskin dari keadaan sebenarnya. Kami hidup sederhana,  tidak berkekurangan. Setidaknya Abah dan Ibu selalu memenuhi kebutuhan perut kami dengan makanan enak dan bergizi. Kami tidak pernah merengek dan sakit karena kelaparan. Di saat anak-anak muka bisa pamer mainan buatan pabrik, kami juga beroleh mainan walau itu buatan rumahan yang dijajakan di pasar atau mainan buatan tangan Abah dari barang bekas. Baju yang melekat di badan pun tidak bercela. Berbaju baru anak-anak muka itu di hari lebaran, kami pun demikian.
Tidak dipungkiri ada hal-hal di luar kebutuhan pokok yang belum bisa dipenuhi Abah dan Ibu saat itu.  Ketika anak-anak lain asik menonton film Si Unyil sambil bergolek-golek nyaman di rumah mereka, kami cukup menonton sambil berdiri dari luar jendela rumah mereka. Sesekali kaki perlu dihentak-hentakan kalau sudah terasa kejang atau kesemutan karena dijalari kawanan semut merah yang bersarang di retakan pondasi rumah. Kalau suasana hati pemilik TV sedang tidak baik, mereka menutup kaca jendela rumahnya dan membiarkan kami menonton di luar. Kami pun menduga-duga kata-kata yang diucapkan orang dari dalam TV itu. Di saat anak-anak lain bersemangat bercerita tentang Megaloman, tokoh robot yang mereka tonton di video, aku dan abangku hanya bisa menyimak takjub sambil membayangkan bagaimana rupa robot berambut api dari Jepang itu. Urusan tontonan kami lumayan ketinggalan.
Hinaan tidak hanya pada orangtuaku saja tapi juga diterima Uni[2], Abang dan aku. Kami yang masih kanak-kanak kerap dipinggirkan dari anak-anak mereka. “Buat apa mengajak anak penjual sayuran itu ke rumah? Bentuk tidak ada teman lain saja. Bawa saja mereka main di luar!” kata mereka pada anak-anaknya. “Kalian tidak tahu malu, badan kotor dan bau sayur busuk, main pula ke sini. Jauhlah main dari sini”.  Kadang-kadang, “Main di belakang saja!”, serta ucapan-ucapan mengusir dari orang tua teman-teman kami yang anak muka.
*
Sebetulnya, pergantian peran antara Abah dan Ibu karena dipaksa keadaan. Abah berasal dari keluarga miskin. Ia yatim sejak berusia lima tahun. Pendidikannya terhenti, saat memasuki usia akil baliq karena terpaksa bekerja demi membantu Biye[3]-nya. Berbagai macam pekerjaan ia lakoni dan terakhir ia merantau dan bekerja sebagai tukang masak di sebuah rumah makan Padang di Pekanbaru.
Sama halnya dengan Abah, Ibu juga berasal dari keluarga miskin. Konon dulunya Inyik-ku, Ayahnya Ibu adalah orang yang cukup berada. Seorang Penjahit yang sukses. Pelanggannya adalah pejabat-pejabat yang bekerja pada kumpeni. Namun saat Ibu berusia dua tahun, Ayahnya meninggal. Katanya kena tuba oleh orang yang tidak suka dengan keberhasilannya. Sejak itu, kehidupan Nenekku dan anak-anaknya terjun ke titik nol. Ibu sendiri tidak pernah ingat bagaimana rasanya hidup senang. Yang pasti, masa kanak-kanaknya sudah dihabiskan untuk membantu Amay[4]-nya. Memasuki usia remaja, Ibu merantau ke Bukittinggi dan  akhirnya bekerja pada Antan[5] dan Udo[6],  kerabat Ayah yang menjadi toke cabe.
Seperti sudah digariskan nasib, pertemuan Abah dan Ibu terjadi di Pasar Bawah. Saat itu Abah pulang kampung dan bertemu dengan Ibu yang menjadi anak buah Antan. Abah jatuh cinta pada pandangan pertama. Hatinya tergetar melihat Ibu dan terbesit keinginannya untuk menjadikan Ibu sebagai istri.
Tapi Ibu bukanlah perempuan yang gampang ditaklukan. Latar belakang keluarga yang juga miskin sehingga takut dipermainkan membuat Ibu tidak yakin. Terlebih lagi didikan para tuan-nya[7] yang melarang untuk berhubungan dengan laki-laki membuat Ibu takut.
Dulu, perempuan Minang sangat takut pada tuan mereka. Kata-kata tuan sama dengan kata-kata seorang Bapak pada anak-anaknya. Ibu serta seluruh saudara perempuannya takut kalau ketahuan ditaksir atau berhubugan dengan laki-laki. Itu pantang. Pernah suatu kali, kakak sepupu ibu diadili para tuannya karena kedapatan menerima sepucuk surat cinta dari seorang laki-laki. Dia disekap di kamar kemudian ditakut-takuti akan disulut dengan potongan kayu bakar yang langsung diambil dari tungku perapian. Sejak saat itu, ibu dan semua saudarinya takut menjalin hubungan dengan pria. Bahkan untuk berjalan sendiri pun para perempuan itu harus hati-hati, takut jika dibelakang mereka ada laki-laki mengiringi dan dicurigai memiliki hubungan khusus mereka. Urusan jodoh, biarlah urusan Bapak dan Ninik Mamak saja.
Tampilan fisik Abah juga menjadi salah satu pertimbangan Ibu. Abah adalah lelaki pendiam yang bagi sebagian perempuan dianggap cool. Meski bertubuh sedikit di bawah medium size, namun Abah memiliki tampang di atas rata-rata. Kulit putih, rambut lebat bergelombang, alis tebal tapi rapi melindungi matanya yang tajam. Kalau dimirip-miripkan, Abah seperti Barry Prima, aktor laga yang populer di masa delapan puluhan. Dengan modal tampang saja, Abah bisa menaklukan hati banyak perempuan. Dan ini pula yang ditakuti Ibu, jangan-jangan Abah adalah satu dari sekian lelaki tampan berhati buaya.  
Sulitnya mendekati Ibu membuat Abah meminta bantuan Antan dan Udo untuk meyakinkan anak buahnya itu. Kegigihan Abah meluluhkan hati Ibu. Pinangannya juga diterima keluarga besar Ibu. Pada akhirnya mereka pun menikah di usia yang cukup muda.
Tapi meski ijab kabul usai dibacakan dan perhelatan selesai diadakan, Ibu belum serta merta mau menyerahkan dirinya pada Abah. Ibu lagi-lagi menanyakan kesungguhan Abah untuk berumah tangga bersamanya. Sebagai bentuk keseriusanya, Abah berjanji meninggalkan pekerjaannya di rantau dan bersedia memulai hidup baru bersama Ibu. Malam pertama mereka baru terjadi delapan hari usai pesta pernikahan.
Sejak menikah hingga Uni dan Abang lahir, Abah dan Ibu masih tinggal satu kontrakan dengan Antan dan Udo. Antan dan Udo pasangan tua yang tidak memiliki anak dari hasil pernikahannya tetapi memiliki banyak anak asuh yang dididik untuk berdagang. Bagi mereka keberadaan Abah dan Ibu di kontrakan yang sama setidaknya menjadi pengusir sepi setiap pulang dari pasar. Malah, kelahiran Uni dan Abang sekaligus jadi pengobat rindu bagi mereka akan kehadiran anak.
Sebelum Uni berusia genap lima tahun, dan Abang tiga tahun, Abah dan Ibu memutuskan untuk mulai mandiri. Selain mencari tempat baru untuk berjualan cabe dan sayuran sendiri, mereka juga mencari kontrakan baru yang tidak terlalu jauh dari pasar. Ibu mulai menjual cabe di kaki lima, berdampingan dengan los pedagang ikan asin. Untuk tempat tinggal, mereka mendapat rumah kontrakan di Kampung Paduan, di bagian muka.
*
Bagian muka Kampung Paduan ditinggali para materialistis diskriminatif dan pegunjing. Sebuah kumpulan yang sarat kedengkian. Bagi penghuninya segala sesuatu dinilai dengan berbagai rupa kemewahan duniawi. Martabat para suami terletak di penghasilan, jabatan dan pangkat. Gengsi para istri diukur dengan segala kelengkapan perabotan rumah dan aksesori ragawi.
Hari pertama menginjakkan kaki di Kampung Paduan, aroma diskriminasi sudah dirasa. Saat barang-barang kami yang tidak seberapa diantar tukang gerobak ke rumah, istri si pedagang daging berujar ke Ibu “Kenapa tidak mencari rumah di belakang saja? Murah dan pas dengan kalian.” Di belakangnya beberapa Ibu-ibu mengangguk sambil tersenyum dengan ujung bibir tertekuk ke bawah.
Pahit hidup yang dijalani Abah dan Ibu sejak kecil membuat mereka menganggap berbagai hinaan sebagai angin lalu saja. Toh, cemoohan para tetangga itu tidak lebih berat dari apa yang sudah mereka alami. Lagi pula, Abah dan Ibu adalah tipikal orang yang tidak banyak bicara dan bukan penentang.
*
Sebelum Abah memutuskan menjadi bapak rumah tangga, hingga usiaku empat tahun Abah dan Ibu masih bekerja di pasar berdua. Di rumah, kami diasuh Udo yang sengaja datang ke kontrakan kami. Di antara anak-anak asuhnya dan di antara kerabatnya, Antan dan Udo lebih dekat pada keluarga kami. Bagi Udo yang kami panggil Amak, dan Antan yang kami panggil Ata, kami adalah favorit mereka. Kami dimanja dan diperlakukan seperti anak sendiri.
Suatu hari, Uni dan kawan-kawannya diajak Nova bermain di rumahnya. Nova adalah Anak Muka yang kedua orang tuanya pedagang pakaian di Pasar Atas. Saat keasikan bergelut, tanpa sengaja Uni didorong salah seorang temannya. Tidak sempat menghindar Uni pun menyenggol termos air yang ada di atas meja makan. Kaca termos pecah berderai di dalamnya. Canda anak-anak perempuan cilik itupun terhenti, semuanya kontan terdiam. Uni pucat pasi. Yelsi, Kakak Nova yang berusia tiga tahun di atas Uni tiba-tiba muncul, menggertak menanyakan pelaku yang memecahkan termos itu. Wajah Uni makin memutih melihat murka yang terpancar di wajah Yelsi. Uni membatu saat Nova dan teman lainnya langsung mengarahkan tunjuk mereka padanya.
Yelsi yang bertubuh tinggi berisi hasil tempaan latihan silat mendekati Uni. Uni bergidik cemas. Tiba-tiba tangan keras Yelsi menarik baju Uni dan mendorongnya hingga terhenyak ke dinding. “Anak penjual sayur sialan! Pindahlah kalian ke belakang!” teriaknya geram sambil kembali menarik tubuh kecil Uni dan selanjutnya menendang keras perut Uni. Uni terduduk tak berdaya saat sepakan itu mendarat di perutnya. Matanya nanar dan selanjutnya ia tergolek di kaki meja makan.
Uni baru sadar ketika sudah berada di rumah. Dia mendapati amak menangis cemas sambil mengusap-usap kepalanya serta Abang dan Aku yang menatap khawatir ke padanya. Malamnya, Ibu dan Abah menemui orang tua Nova dan meminta agar anaknya untuk tidak lagi menyakiti kami secara fisik.
“Kami memang bukan orang kaya, tapi kalau untuk sebuah termos yang pecah kami masih sanggup membayar penggantinya. Tidak perlulah ia dipukul dan ditendang. Mohon sampaikan pada anak-anak Ibu agar jangan menyakiti anak kami lagi,” pinta ibu berurai air mata selanjutnya menyerahkan uang pengganti termos yang telah pecah. Mama Nova diam tanpa ekspresi sambil menarik uang yang diulurkan Ibu tanpa mengucap sepatah kata maaf pun atas tindakan anaknya.
Demi menjaga keselamatan kami, sejak itu Abah memutuskan menjadi Mr. Mom bagi kami. Abah mau mengalah karena Ibu lebih kaya pengalaman dalam berjualan.



Bersambung ke

Amphibian



[1] ngobrol-ngobrol
[2] Kakak Perempuan
[3] Bahasa lama Minangkabau untuk sebutan Ibu
[4] Bahasa lama Minangkabau lainnya untuk sebutan Ibu
[5] Panggilan untuk kakek
[6] Panggilan untuk nenek yang paling muda
[7] Panggilan untuk saudara laki-laki tertua

1 comment:

sulung said...

Gambaran akan zaman baholak di kala abah dan ibu masih muda hadir dengan sangat nyata oleh tulisan ini..hiruk pikuk kehidupan keluarga dan tetangga sekitar terdeskripsi sangat kuat dan jelas...I love this part so much:....keep goin' buddy....