Translate

Wednesday, December 07, 2011

Pentas Seni di Musim Semi


April 2006
Hembusan angin siang itu masih terasa dingin sehingga setiap tiupannya seolah sedikit menusuk-nusuk menembus seluruh lobang pori. Bagi para lansia, membaluti tubuh dengan sweater dan jaket tebal tetap dirasa perlu untuk melindungi tulang dan persendian mereka dari tiupan sisa angin musim sebelumnya. Sementara bagi kalangan muda yang tidak sabar ingin segera mengucap selamat datang pada pada musim semi, dan ingin terlihat lebih fashionable dalam penampilan dan leluasa saat bergerak, cukup mengenakan jaket tipis berbahan kulit atau jeans. Bahkan ada yang hanya mengenakan balutan kaos oblong berwarna-warna cerah.
Cuaca di Belanda memang tidak pernah bisa diduga, kadang cuaca bisa berubah-ubah dengan drastisnya. Paginya cerah, siang mendadak hujan. Atau paginya hujan, menjelang siang sudah cerah benderang. Saat matahari terik bersinar, anginnya justru dingin menusuk kulit.
Jelang tengah hari, hembusan angin yang masih dingin itu malah sepertinya sama sekali tidak dirasa kerumunan penonton yang berada di bawah panggung International Cultural Party di pelataran Pieterskerk, yang terletak di jantung keramaian Kota Utrecht. Mereka kelihatan hangat dan bergairah. Aksi dan atraksi dari setiap penampilan mahasiswa asing di seluruh Utrecht itu telah membakar semangat para warga kota dan penonton yang menyaksikan iven cukup besar tersebut. Bahkan penonton dari khlayak umum yang sudah berumur pun terlihat mulai menarik lepas ristleting jaket mereka, memberi ruang pada angin untuk menyegarkan tubuh mereka yang mulai berkeringat.
Suasana makin terasa panas saat dua pasang mahasiswa asal Brazil menappakkkan kaki mereka ke atas pentas. Penari perempuan mengenakan rok sexy mengembang sejengkal di atas lutut sedangkan penari pria memakai celana panjang, potongan cutbray ala Elvis Presley, mengembang di bagian kaki. Keempatnya memakai atasan ketat tanpa lengan mempertunjukan bentuk tubuh atas perempuan yang sintal dan pria berotot. Kulit coklat nan eksotis mereka berkilat-kilat diterpa matahari, membuat iri para bule yang berkulit pucat. Antusiasme penonton pun makin terpancing. Lolongan gembira para penonton makin melengking saling bersahutan saat alunan akordion mengalun dari sound system menyuarakan alunan irama musik Lambada. Perpaduan gerakan salsa dan merengue kedua pasang penari benar-benar telah menaikkan suhu udara di lokasi itu. Spontan, penonton yang datang dengan pasangannya tanpa segan-segan meniru gerakan yang sama, sementara yang lainnya bergoyang sambil mencari pasangan dadakan atau menari sendiri sesuka hati.
Suasana riuh gembira itu makin mendebarkan hatiku, membuat telapak tanganku basah oleh butir-butir keringat. Kucuran peluh mulai membasahi ikatan seluk di kepalaku dan mengalir membasahi pipi. Jantungku berdegup sangat kencang mencoba mendahului dentuman-dentuman musik berirama Salsa yang menghipnotis para penonton di bawah panggung.
Tarian sensual Thiago, mahasiswa asal Kolumbia bersama tiga orang temannya telah berhasil membuat penonton ikut kerasukan setan Lambada. Sebuah pertunjukan yang sangat bagus namun tidak menguntungkan sebelum giliran penampilanku dimulai. Bathinku mengutuki mengapa harus kebagian undian nomor empat belas, nomor sial, yang merupakan urutan kedua terakhir dari keseluruhan penampilan di panggung yang diperuntukan bagi para mahasiswa internasional itu. Beban mentalnya jadi lebih berat karena harus bisa tampil lebih baik daripada pertunjukan-pertunjukan sebelumnya.
Baturo-turo pun sudah tidak ada gunanya lagi. Bukankah memang ini yang kuingin-inginkan dari dahulu. Bahkan keinginan yang bermetamorfosa menjadi sebuah tekad itu telah membatu jauh-jauh hari sebelum pesawat yang membawaku ke negeri keju ini lepas landas meninggalkan Indonesia. Dan sekarang, ketika keinginan itu ada di hadapanku, aku gugup. Hanya dalam hitungan beberapa menit lagi, keinginan itu bisa kutunaikan.
Tarian Lambada itu berakhir sudah dan diapresiasi riuh sorak gembira dan tepuk tangan penonton. Thiago dan ketiga temannya meninggalkan panggung dengan senyum mengembang menyiratkan kepuasan. Senyumnya dilemparkan ke arahku, sambil berujar memberi semangat “rock them man!” yang aku balas dengan cengiran kikuk.
Suara Maartje Botterhuis, ketua jaringan mahasiswa asing Utrecht, yang nyaring mengulas sedikit penampilan Thiago Cs tidak lagi kudengar jelas. Fokusku hanya satu, menunggu namaku disebut dan dipanggil untuk tampil di atas panggung. Dan demi tuhan, menunggu itupun rasanya lama sekali. “From exotic country to another exotic country…” Maartje masih asik menikmati sesi untuk dirinya. Hingga akhirnya, namaku pun dipanggil.
Dengan jantung yang berdegup lebih kencang kupaksakan kaki menapaki setiap anak tangga ke atas panggung. Aku serasa mengalami suatu de ja vu. Rasa-rasanya, setiap hentakan kakiku merupakan pengulangan dari suatu peristiwa yang sebelumnya pernah terjadi. Di saat bersamaan aku pun berusaha menarik kembali setiap siratan-siratan penggalan kisah lama dalam hidupku. Ini tentunya akan menjadi pencapaian baru dari perjalanan panjang dalam hidup sekaligus membayar dendam masa laluku, yaitu berdiri di pentas luar negeri. 
Bersambung ke

Rumah Petak di Persimpangan

3 comments:

FAUZAN G.W said...

Haha...mantap da..jan tangguang-tangguang, tagantuang suok nasi dek nyo ha..hehe

Anonymous said...

Luar biasa bro, tdk semua orang bisa mendapatkan kesempatan itu.selangkah demi selangkah namun pasti, teruslah berkarya kejar terus mimpi2 mu

Anonymous said...

Luar biasa, terus berkarya n kejar terus mimpi2 mu bro