Translate

Monday, December 12, 2011

Rumah Petak di Persimpangan


Sekelompok burung merpati menikmati rimah-rimah sisa makanan yang sengaja dibuang Maktuo Rojana di jalan bersemen di depan rumahnya. Sesekali kawanan burung itu melompat dan terbang rendah menghindari orang yang melewati jalan tersebut. Sementara itu, di tempat yang tidak begitu jauh, tiga ekor kambing terbirit-birit mengelak kejaran anak-anak kecil. Ikatan tali di leher mereka tidak membuat mereka leluasa menghadapi kejahilan anak-anak kampung itu. Kenyamanan hewan-hewan ternak itu kembali didapat setelah pemilik kambing menghardiki anak-anak itu untuk berhenti.
Pemandangan demikian jamak dijumpai di Kampung Paduan, suatu kampung kecil yang lokasinya tidak begitu jauh dari pusat kota Bukittinggi. Tidak ada yang bisa memberikan penjelasan pasti mengapa kampung itu dinamakan demikian. Menurut beberapa orang tua di sana, Paduan merupakan dipakai karena kampung itu tempat bercampur padunya orang-orang dari luar Bukittinggi. Kenyataannya, umumnya warga Kampung Paduan adalah para perantau suduik dapua, perantau dekat dari kabupaten dan kota yang bertetanggaan dengan Bukittingi. Namun, menurut sebagian warga lainnya, Paduan berasal dari kata paadu. Paadu adalah istilah untuk adu domba, pegunjing yang ujungnya bisa membuat orang-orang bertikai satu sama lain. Yang mana yang benar? Entahlah, barangkali setiap pendapat memiliki kebenaran tersendiri.
Lokasi Kampung Paduan berdekatan dengan Pasar Bawah, pusatnya tempat belanja keperluan harian masyarakat Bukittinggi. Keduanya dibatasi satu kampung kecil lainnya dan satu jalan raya. Jadi cuma butuh sepuluh menit jalan kaki dari Sawah Paduan ke Pasar Bawah.
Dulu, untuk memasuki Kampung Paduan, mesti melewati dua gang sempit yang hanya bisa dilalui satu sepeda motor. Kampung Paduan sendiri dikelilingi kampung kecil lain yang nama-namanya juga tidak kalah unik; Mandiangin, Pasirbusuk, Semakgatal, dan Bukit Sijundai (kuntilanak).
Dulu pada masa delapan puluhan, Kampung Paduan sama halnya dengan kampung-kampung kecil lainnya di Bukittinggi, masih belum berkembang. Pembangunan rumah tidak merata di seluruh kampung, demikian pula halnya dengan fasilitas untuk warganya. Rumah- rumah beton berasitektur bagus merapat ke bagian depan gang, dekat dengan jalan raya. Tiap rumah berlomba-lomba menonjolkan keindahan masing-masing. Ada yang dinding-dindingnya bercatkan warna-warna terang menyolok, berhiaskan relief satwa liar serta pepohonan hingga ada yang dipasangi keramik. Sepanjang jalan di depan rumah-rumah itu dicor semen dilengkapi selokan pembuangan air yang lancar. Bagian ini disebut wilayah Orang Muka.
Di bagian lain Kampung Paduan, agak lebih ke belakang, terdapat hamparan lahan yang banyak kosong, lahan bekas sawah zaman dulunya. Permukaan tanah di bagian belakang ini lebih rendah. Ada beberapa rumah kontrakan semi permanen terbuat kayu dan berdinding anyaman bambu yang dibangun di pinggir kampung, yang sekaligus menjadi pembatas antara Kampung Paduan dengan kampung Pasirbusuk dan Bukit Sijundai. Beberapa rumah di sana belum dialiri listrik. Hamparan lahan kosong dan gundukan tanah bekas pematang sawah adalah halaman dan jalan bagi rumah-rumah itu. Ketika musim hujan, tanah kosong dan bekas pematang sawah melunak, menjadi kubangan yang akan gampang mengotori pakaian bawah para penghuni di sana. Warga Kampung Paduan menyebut wilayah ini wilayah Orang Belakang.
Pada masa itu, tidak beda jauh seperti yang masih berlaku hingga saat ini, jurang yang membentang antara orang kaya dan orang miskin curam menganga. Di Kampung Paduan contoh itu terpapar dengan gamblangnya.
Bukan hanya faktor demografi yang membuat sebutan Orang Muka dan Orang Belakang terjadi. Kenyataanya, Orang Muka adalah kelompok berpenghasilan mapan dengan kondisi ekonomi yang lebih baik. Golongan kelas menengah ke atas, meski bukan sepenuhnya kalangan atas. Profesi para kepala rumah tangganya umumnya pedagang, pegawai negeri, pejabat dan keluarga yang kaya karena keturunan. Sedangkan Orang Belakang adalah kelompok ekonomi lemah yang memandang hidup tidak memiliki keberpihakan. Pekerjaan mereka mengandalkan fisik, banting tulang siang dan malam sebagai kuli angkat, pedagang keliling kampung, tukang cuci, copet, wanita malam, pedagang obat dan semacamnya. Berasapnya dapur mereka lebih banyak karena bekerja buat kelompok seperti Orang Muka.
Pembatas antara bagian muka dan bagian belakang adalah sebuah rumah kontrakan permanen. Rumah itu berada tepat di penghujung bagian muka dimana jalan bercor semen berakhir; persimpangan antara muka dan belakang. Orang-orang menyebutnya rumah petak, sesuai dengan arsitekturnya yang memanjang, terdiri dari empat petak rumah disewakan untuk empat keluarga.
Tiap petak berukuran sepuluh kali empat. Dari bentuknya, rumah itu terlalu bagus untuk dikelompokkan pada wilayah belakang, namun juga tidak semewah rumah muka lainnya. Cat tembok rumahnya berwarana coklat muda yang telah pudar dan banyak bercak. Cat pintu dan daun jendela kayunya berwarna coklat gelap namun rengkah-rengkah karena cuaca, menyumburkan warna cat sebelumnya, hijau tua.
Kontrakan paling ujung, penutup dari bagian muka adalah hunian tempat dimana orangtuaku, dua saudaraku dan aku tinggal. Tiga keluarga tetangga kami adalah orang-orang berpangkat dan pedagang kaya. Keluarga yang tinggal di pangkal rumah petak, sang suami bekerja di Balaikota. Keluarga di deretan kedua, sang suami bekerja di kantor pengadilan dan istrinya seorang pegawai negeri sipil. Abah dan Ibu selalu menyebut dua keluarga ini sebagai orang berpangkat. Sedangkan tetangga sebelah kami adalah pedagang daging yang keberhasilan ekonominya terlihat jelas dari berbagai perabot dan peralatan yang memenuhi isi rumah mereka. Konon dari bisik-bisik tetangga rumah petak ini kepada Orang Muka lainnya, mereka sebenarnya sudah memiliki tanah dan bahkan ada yang sedang membangun rumah di daerah asalnya. Di antara para penghuni rumah petak dan Orang-orang Muka lainnya, kami jelas bukan siapa-siapa. Abah dan Ibuku adalah pendatang yang sedang merintis dari titik nol. 
Bersambung ke

Mr. Mom

1 comment:

Anonymous said...

Bagus, bahasanya gamblang mudah dimengerti, pesan penulis sampai kpd pembaca, hidup Andre Hiratanya Boekittinggi