Translate

Wednesday, January 04, 2012

Romi dan Juli


Tidak seperti biasanya, Abah masih belum sudah dengan cucian dan pekerjaan rumah lainnya. Banyak sekali yang harus diselesaikan di rumah, sebab tadi malam Abah dan Ibu membuat keripik bayam untuk dijual di kedai-kedai makanan. Baru setelah masuk waktu Duha Abah keluar dengan kain yang akan dijemur. Seperti biasa Abah hanya berkain sarung dan kaos singlet, menampakkan kulit putih dan ototnya yang samar. Walau hanya dibalut pakaian rumahan seperti itu, Abah tetap tampak gagah bahkan sedikit menggoda. Aku sempat berfikir, jangan-jangan inilah yang mengusik hati para bapak di Bagian Muka itu. Penampilan Abah barangkali juga telah menggetarkan perasaan istri-istri mereka yang berujung sikap sinis pada Ibuku.
Dalam pada itu, Romi salah seorang anak tetangga paling kaya datang. Kalau tidak untuk bermain, biasanya dia datang dengan sesuatu yang baru untuk dipamerkan padaku. Dan benar saja anak manja itu datang dengan tujuan kedua. Sambil tersenyum-senyum bangga dia menghampiriku yang sedang duduk meainkan gelang karet di depan pintu. Kedua tangannya di belakang punggung, berusaha menyembunyikan sesuatu.
“Hei, Aku ada sebuah mainan yang pasti kamu suka,” sapanya bernada melagak sambil berusaha menjaga sikap misterius. Air liur kering di sudut bibirnya pecah karena senyum lebarnya itu. Anak keras kepala ini pasti berhasil menaklukkan lagi perintah mamanya untuk mandi dan gosok gigi.
“Apa itu,” tanyaku dengan rasa penasaran berusaha melongok ke punggungnya.
“Eit… nanti dulu!” ucapnya menghindar. Nafas bantalnya langsung menyerang hebat liang hidungku, membuatku reflek bergerak mundur.
“Ya sudahlah. Kalau kamu tidak mau menunjukkan, untuk apa kasih tahu Aku?” balasku sambil kembali duduk.
“Sabar Chen...” katanya seraya mendekat dan duduk di sebelahku.
Panggilan Chen sudah melekat sejak usiaku dua tahun. Entah siapa yang mulai memanggilku begitu. Kemungkinan nama itu bermula dari keluarga dekat karena bentukku yang seperti anak orang Cina. Kulitku mengikuti kulit Abah, sedangkan rambutku lurus dan hitam lebat turunan dari Ibu. Nama itu makin sering disebutkan padaku setelah aku melabelkan diri sebagai Chen Lung, tokoh silat diperankan Jacky Chan dalam sebuah film yang pernah populer awal delapan puluhan, di setiap permainan tarung silat dengan Anak-anak Belakang. Belakangan, bukannya terkenal sebagai Chen Lung, anak-anak justru mengolok panggilanku menjadi Kuchen.
“Ini dia Chen,” kata Romi sambil menunjukkan sebuah kotak kayu seukuran satu setengah kali ukuran telapak tangannya. Berupaya terus menahan rasa penasaranku, Romi tidak segera membuka kotak kayu berwarna coklat mengkilat itu.
“Ada apa di dalamnya?” tanyaku.
“Sesuatu yang belum pernah kamu lihat dan pasti akan kamu suka,” jawabnya sambil mendekatkan wajahnya dengan mata membesar ke arahku. Hidungku kembali terusik oleh bau basi dari mulutnya, namun berusaha kutahan.
“Ayolah…!” pintaku tidak sabar seraya menghembuskan nafas sebanyak mungkin, mengeluarkan kebusukan yang sudah ditebarnya padaku.
Romi kemudian membuka pelan kotak yang ada di tangannya. Dari dalam kotak tampak sebuah bola kaca yang sangat jernih dan bersih. Pelan-pelan dia tarik benda yang ternyata sebuah bola kristal itu. Bola itu berisi air, di dalamnya juga ada miniatur rumah sangat unik yang belum pernah aku lihat di mana pun. Ada pasir-pasir mengkilat mengelilingi rumah kecil itu. Sangat indah.
“Tunggu dulu. Kamu belum melihat semuanya,” kata Romi lagi berusaha memancing kembali rasa penasaranku. Ia kemudian menggoyang pelan bola kristal yang masih dipegangnya dengan erat itu. Selanjutnya ia perlihatkan kembali padaku. Aku kian takjub melihat rumah itu kini sudah diselimuti kabut. Perlahan butir-butir kabut tadi jatuh menghujani rumah itu untuk selanjutnya kembali menjadi pasir di sekelilingnya. Pemandangan dalam bola kristal itu seolah nyata bagiku. Makin sangat indah.
Romi menolak ketika aku ingin memegang bola kristal tersebut. Dia takut bola itu jatuh dan pecah di tanganku. Meski sedikit kecewa, penolakan itu tidak mengurangi rasa senangku. Lagi pula kalau betul-betul pecah, aku tidak akan sanggup mengganti bola indah itu. Jangan sampai tragedi yang menimpa Uni dulu juga aku alami. Bagiku, Romi sudah cukup baik menunjukkan mainan barunya.
Daripada Anak-anak Muka lainnya, Romi lebih dekat denganku. Ia sering membagi makanan enak dan meminjamkan mainan bagusnya padaku. Aku sendiri tidak tahu mengapa anak yang tidak suka dengan anak-anak belakang itu malah akrab denganku. Padahal, tingkat perekonomian kami jauh berbeda. Orang tuanya pedagang aneka hiasan rumah, salah satu keluarga kaya di Bagian Muka, beda sekali dengan keluargaku. Meski sebaya, fisik Romi lebih besar dan tambun mengalahkan tubuhku. Tapi begitulah, Romi sering mengenalkanku pada hal-hal baru, seperti saat itu.
Di saat Romi ingin kembali menggoyang-goyang bola kristalnya, datanglah Panjul. Melihat dua tentengan besar-besar di kedua tangannya, sepertinya dia baru pulang belanja dari Pasar Bawah. Karena Panjul dan Aku juga berteman akrab, dia menghentikan langkahnya dan meletakkan bawaannya yang berat di dekat kami. Sambil tersenyum menyapa, dia mengibas-ngibaskan tangannya melepas rasa pegal.
Kehadiran Panjul membuat Romi segera berhenti menggoyang bola kristalnya. Ia buru-buru menyimpan kembali bola kaca itu ke dalam kotak kayu dengan wajah masam. “Sebentar lagi sajalah Chen. Nanti aku perlihatkan lagi pada kamu.” ucapnya ketus.
Menyadari kehadirannya tidak diharapkan, Panjul jadi salah tingkah. Tapi mukanya merah mengeras. Tangannya mengepal keras. “Dari pasar ya Jul?” tanyaku berbasa-basi dengan nada sewajarnya berusaha mencairkan suasana. “Iya,” jawabnya singkat berusaha tersenyum padaku. Kemudian ia mengambil kembali belanjaanya dan berlalu meninggalkan kami menuju Bagian Belakang tanpa berkata apa. Perasaanku menjadi terganggu dan tidak enak.
Panjul adalah sahabat baikku di Bagian Belakang. Dia yang sering mengajakku ikut terlibat dalam berbagai petualangan liar. Dia juga yang acap kali menjagaku dari bahaya akibat ulah usil kami. Pernah suatu kali aku bersama anak-anak belakang dikejar anjing liar. Aku tertinggal di belakang sementara Panjul yang larinya kencang sudah jauh di depan meninggalkanku dan yang lainnya. Menyadari aku tidak bersamanya, dia berbalik arah sambil mengambil batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dengan nafas tersengal hebat, dia menyuruhku terus berlari dan nekad menghadang anjing yang sudah makin mendekati Saat binatang yang diamuk marah itu akan menyerangnya, batu yang ada di tangannya dilempar  keras tepat mengenai paha depannya. Anjing itu mengaing keras menahan sakit dan akhirnya berbalik arah meninggalkan kami.
Panjul adalah anak yang enak dibawa berteman. Ia keras tapi sopan. Umurnya setahun di atasku namun tubuhnya agak lebih kecil daripada tubuhku. Ia berkulit sawo matang. Wajahnya tampan, berkarakter dan menunjukkan sosok yang kuat, sesuai dengan nama aslinya; Julius Caesar.
Nama besar itu diberikan kepadanya bukan sekedar gagah-gagahan. Ia lahir di bulan Juli lewat operasi caesar yang biayanya telah menyedot tabungan dan menyisakan hutang bagi Bapak dan Ibunya. Pihak keluarganya yang bersekolahlah yang memberikan nama itu meski Bapak dan Ibu Panjul sendiri tidak tahu siapa Julius Caesar. Adapun Juli sendiri yang kemudian entah bagaimana dipanggil Panjul merasa bersalah akan proses kelahirannya sehingga rela ikut membanting tulang membantu kedua orang tuanya. Terlepas dari ironi hidupnya, aku sempat berfikir, dengan tampang dan nama besarnya Panjul akan menjadi orang yang besar pula kelak di kemudian hari.
Aku bangga bersahabat dengan Panjul, sebangga bersahabat dengan Romi. Namun berada di antara keduanya ibarat berada di tengah bara. Aku merasa suatu saat nanti keduanya akan bertemu dalam kobaran pertikaian. Kalau William Shakespeare mengakhiri kisah Romeo dan Juliet dengan tragis karena cinta, cerita dua temanku yang namanya bernada sama ini akan khatam dengan kebencian. Dengan rasa bergidik aku membayangkan justru diriku ikut hancur karenanya.



Bersambung ke

Tuan Takur dan Terornya

No comments: