Siapapun di penjuru Indonesia yang menyaksikan berita tabrakan maut di
akhir pekan lalu pasti akan merasa miris. Sedemikian gampangnya nyawa
melayang karena ulah wanita yang sebelumnya berpesta shabu dan minuman
keras. Broadcast dan cerita tentang tragedy itu terus bergulir, bahkan
gerakan meminta hukuman mati bagi Afriani si sopir Xenia maut
bermunculan di jejaring sosial.
Seperti diketahui, Ahad, 22 Januari
2012, mobil Daihatsu Xenia yang disopiri Afriani melaju kencang dan
menghantam belasan pejalan kaki di trotoar dan halte di Jalan M.I.
Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat. Akibatnya, sembilan orang tewas dan
empat terluka. Kebanyakan korban adalah mereka yang baru pulang
berolahraga di Monas. Konon, di dalamnya, Afriani dan ketiga temannya di
bawah pengaruh shabu-shabu.
Terlepas dari kondisinya yang berada di
bawah pengaruh narkotika, toh tidak dapat dipungkiri perilaku semacam
perempuan gempal itu banyak dijumpai di jalanan. Perilaku kalangan
hedonis yang sombong dan ujung-ujungnya merugikan orang lain. Sayangnya,
perilaku itu banyak ditunjukkan oleh kalangan berada, yang semestinya
akal dan pikiran mereka dicukupi dengan pendidikan.
Kalau masih mau
menyangkal, lihatlah di jalanan. Mereka yang berkendaraan (dan pastinya
bisa dikatakan kalangan menengah ke atas) sering merasa menjadi raja di
jalanan. Ngebut, memaki pejalan kaki dengan raungan klakson, membuang
sisa dan bungkus makanan lewat jendela mobilnya. Perilaku itu pun
menular di kalangan menengah yang hanya punya motor. Ngebut-ngebutan
tidak mau kalah dengan pemilik kendaraan roda empat, tidak ada polisi
lampu merah diterobos, sengaja mengencangkan bunyi mesin meniru gaya
pembalap profesional, dan masih banyak lagi polah yang menunjukkan
arogansi pemilik kendaraan. Suatu rasa yang tidak hanya akan merugikan
orang lain, tapi juga akan mencelakai diri pelakunya.
Bolehlah si
Afriani dikatakan keliru membedakan antara rem dan gas karena pengaruh
shabu yang dikonsumsinya. Tapi bukan sebuah kerendahan hati namanya
mensyukuri nikmat yang ia peroleh dengan berpesta haram seperti itu.
Jelas itu adalah salah satu bentuk arogansi, terutama pada Penciptanya.
Kesombongan berujung maut tidak hanya berlaku di jalan raya saja.
Sayangnya, di tengah kondisi bangsa dengan para pemimpin dan wakil
rakyat yang tidak bisa dijadikan panutan ini, arogansi semakin
menjadi-jadi. Dan ini pula yang menulari generasi mudanya. Lihatlah
betapa sifat konsumtif menjadi-jadi, seolah penampilan dan pelekatan
materi suatu kompetisi. Punya gadget baru saja sudah merasa naik gengsi,
sehingga orang lain dianggap tidak ada apa-apanya.
Karena sifat
arogan pula tidak jarang remaja jadi lupa diri. Merasa umur akan selalu
muda, merasa hidup akan selamanya ada, sehingga lupa waktu untuk memberi
makna. Ketika kecewa pada fakta yang tidak selamanya manis, tidak
jarang remaja mencari kompensasi berbau negatif. Mungkin berkompromi
dengan narkotika seperti halnya Afriani, atau justru yang lebih buruk
dari itu yang mungkin akan mendekatkan diri dengan maut.
Sungguh,
tidak ada yang lebih baik daripada berendah hati saja, sehingga bisa
melihat dunia dengan lebih bermakna.
No comments:
Post a Comment