Translate

Sunday, May 27, 2012

Berkompromi dengan Kesalahan


Sebuah cerita yang disampaikan lewat seorang teman melalu handphone telah mengejutkan saya. Teman dari teman saya itu, yang kebetulan saya tahu dia, mendapat kecelakaan di jalan raya. Kondisinya sangat kritis dan parah, menyisakan ratapan keluarga dan kerisauan para sahabatnya.
Untung sepanjang jalan, malang sekejap mata. Namun, kecelakaan adalah kecelakaan. Lantas, apalah yang bisa dipetik dari sebuah kecelakaan selain kata “kalau”. Kalau saja dia tidak ngebut, kalau saja dia memakai helmnya, kalau saja dia lebih berhati-hati. Dan berbagai macam pengandaian berawal “kalau” dan “seandainya”.  
Cerita lain datang dari seorang guru yang menceritakan kisah anak muridnya yang tidak lulus Ujian Nasional. Di penghujung masa-masa sekolahnya, si murid terlalu asik dengan romantisme yang dia jalin bersama teman sekolahnya. Sebuah ironi pun terjadi, ketika hasil UN diumumkan, si cewek maraung pilu karena tidak lulus, sebaliknya sang Romeo justru tertawa girang karena ia berhasil melewati UN.  Dan berbagai pengandaian pun terlontar; seandainya lebih serius belajar, seandainya tidak asik pacaran…
Sudah sangat jamak dalam kehidupan kita bahwasanya manusia belajar dari kesalahan. Sayangnya, banyak manusia yang terlalu sombong untuk belajar dari kesalahan orang lain. Akibatnya, banyak pula manusia yang membiarkan dirinya memetik buah dari kesalahan diri sendiri yang semestinya bisa dihindari dengan belajar dari kesalahan orang lain.
Kita yang berusia muda kadang terlalu angkuh untuk menuruti nasehat orang tua. Dengan keyakinan kalau sekarang bukan jaman mereka lagi, kita lantas menyepelekan nasehat orang tua yang pastinya lebih banyak mengecap pahitnya hidup. Akibatnya, kita kembali jatuh dalam lobang kesalahan yang sama yang membuat nasib sama malangnya dengan pembuat kesalahan lainnya. Kita yang dengan gejolak remaja, kadang memandang sebelah mata setiap ajaran dan didikan guru atau dosen, yang pastinya lebih banyak melihat dan belajar tentang buah kesalahan. Akibatnya, kita sering terpekur dalam ratapan yang bernama penyesalan.
Malang karena berbuat salah memang tidak mengenal usia. Toh orang tua kita pun tidak luput dari kesalahan. Namun kita yang di usia muda, semestinya lebih waspada untuk tidak berbuat kesalahan yang justru akan membuat kita meratapi kemalangan hingga tua.
Jujur saja, hati kecil kita sebenarnya menyadari kalau kita sedang berbuat salah. Namun kadang perasaan dan nurani selalu dikalahkan oleh nafsu. Kita sadar kalau tidak memakai helm itu salah dan membahayakan. Kita sadar kalau mengutamakan pacaran dari pada pendidikan adalah salah. Kita juga sadar kalau berhubungan intim di luar nikah adalah salah. Kita pun sadar kalau merobek buku pustaka, memotong jalur antrian, menyogok teman untuk mengerjakan tugas, atau berbohong demi kesenangan sesaat adalah salah. 
Namun jujur saja, kita pun terlalu sering menyepelekan kesadaran dan mengkompromikan kesalahan kita dengan nafsu dan berkata, “ semua akan baik-baik saja, asal berpandai-pandai”.  Namun kita kadang mengacuhkan, sepandai-pandai apapun toh berbuat salah adalah salah. Maka, di saat kita lengah dan mulai mengkompromikan kesalahan itu dengan nafsu, maka siapsiaplah kita akan jatuh di lobang kesalahan yang sama. Dan alangkah pandirnya kita melebihi seekor keledai, karena keledai pun tidak akan jatuh di lobang yang sama. 

No comments: