Sebuah
cerita yang disampaikan lewat seorang teman melalu handphone telah mengejutkan
saya. Teman dari teman saya itu, yang kebetulan saya tahu dia, mendapat
kecelakaan di jalan raya. Kondisinya sangat kritis dan parah, menyisakan
ratapan keluarga dan kerisauan para sahabatnya.
Untung
sepanjang jalan, malang sekejap mata. Namun, kecelakaan adalah kecelakaan.
Lantas, apalah yang bisa dipetik dari sebuah kecelakaan selain kata “kalau”.
Kalau saja dia tidak ngebut, kalau saja dia memakai helmnya, kalau saja dia
lebih berhati-hati. Dan berbagai macam pengandaian berawal “kalau” dan “seandainya”.
Cerita lain
datang dari seorang guru yang menceritakan kisah anak muridnya yang tidak lulus
Ujian Nasional. Di penghujung masa-masa sekolahnya, si murid terlalu asik
dengan romantisme yang dia jalin bersama teman sekolahnya. Sebuah ironi pun
terjadi, ketika hasil UN diumumkan, si cewek maraung pilu karena tidak lulus,
sebaliknya sang Romeo justru tertawa girang karena ia berhasil melewati UN. Dan berbagai pengandaian pun terlontar;
seandainya lebih serius belajar, seandainya tidak asik pacaran…
Sudah
sangat jamak dalam kehidupan kita bahwasanya manusia belajar dari kesalahan.
Sayangnya, banyak manusia yang terlalu sombong untuk belajar dari kesalahan
orang lain. Akibatnya, banyak pula manusia yang membiarkan dirinya memetik buah
dari kesalahan diri sendiri yang semestinya bisa dihindari dengan belajar dari
kesalahan orang lain.
Kita yang
berusia muda kadang terlalu angkuh untuk menuruti nasehat orang tua. Dengan keyakinan
kalau sekarang bukan jaman mereka lagi, kita lantas menyepelekan nasehat orang
tua yang pastinya lebih banyak mengecap pahitnya hidup. Akibatnya, kita kembali
jatuh dalam lobang kesalahan yang sama yang membuat nasib sama malangnya dengan
pembuat kesalahan lainnya. Kita yang dengan gejolak remaja, kadang memandang
sebelah mata setiap ajaran dan didikan guru atau dosen, yang pastinya lebih
banyak melihat dan belajar tentang buah kesalahan. Akibatnya, kita sering
terpekur dalam ratapan yang bernama penyesalan.
Malang
karena berbuat salah memang tidak mengenal usia. Toh orang tua kita pun tidak
luput dari kesalahan. Namun kita yang di usia muda, semestinya lebih waspada
untuk tidak berbuat kesalahan yang justru akan membuat kita meratapi kemalangan
hingga tua.
Jujur saja,
hati kecil kita sebenarnya menyadari kalau kita sedang berbuat salah. Namun
kadang perasaan dan nurani selalu dikalahkan oleh nafsu. Kita sadar kalau tidak
memakai helm itu salah dan membahayakan. Kita sadar kalau mengutamakan pacaran
dari pada pendidikan adalah salah. Kita juga sadar kalau berhubungan intim di
luar nikah adalah salah. Kita pun sadar kalau merobek buku pustaka, memotong
jalur antrian, menyogok teman untuk mengerjakan tugas, atau berbohong demi
kesenangan sesaat adalah salah.
Namun jujur
saja, kita pun terlalu sering menyepelekan kesadaran dan mengkompromikan
kesalahan kita dengan nafsu dan berkata, “ semua akan baik-baik saja, asal
berpandai-pandai”. Namun kita kadang
mengacuhkan, sepandai-pandai apapun toh berbuat salah adalah salah. Maka, di
saat kita lengah dan mulai mengkompromikan kesalahan itu dengan nafsu, maka
siapsiaplah kita akan jatuh di lobang kesalahan yang sama. Dan alangkah
pandirnya kita melebihi seekor keledai, karena keledai pun tidak akan jatuh di lobang
yang sama.
No comments:
Post a Comment