Translate

Friday, January 18, 2013

Menantang Bahaya


Ketika membeli sepeda motor baru beberapa tahun silam dan mengendarainya ke jalanan saya dikelakari teman-teman. "Wah, motor baru nih. Masih berdoa motornya," ujar salah seorang teman mengomentari.
Saya tersenyum, namun sedikit bingung dengan istilah "berdoa". Ketika ditanya, ternyata ungkapan itu adalah sindiran untuk kendaraan yang punya kaca spion lengkap kiri dan kanan. Pada saat itu baru saya sadari ternyata, bagi teman saya dan banyak anak muda memiliki kaca spion lengkap pada sepeda motor adalah kampungan, gak gaul dan gak asik.
Dengan kenaifan saya, akhirnya kaca spion bagian kiri saya lepaskan. Saya mengikuti gaya yang sebenarnya saya tahu membahayakan diri saya sendiri. Padahal dengan dua kaca spion akan lebih aman ketika berkendaraan tapi saya justru luluh oleh ejekan.
Cerita lain, seorang teman pernah mengejutkan saya dengan cerita. Katanya, teman dari teman saya itu, yang kebetulan saya kenal, mendapat kecelakaan di jalan raya. Kondisinya sangat kritis dan parah, menyisakan ratapan keluarga dan kerisauan para sahabatnya.
Ketika berkendaraan, dia sengaja tidak memasang helemnya demi menjaga gaya rambut di kepala. Sayang, untung sepanjang jalan, malang sekejap mata. Kecelakaan adalah kecelakaan dan bisa terjadi tanpa diduga. Kepalanya yang tidak berpelindung itu justru mengalami cedera parah.
Lantas, apalah yang bisa dipetik dari sebuah kecelakaan selain kata “kalau”. Kalau saja dia tidak ngebut, kalau saja dia memakai helmnya, kalau saja dia lebih berhati-hati. Dan berbagai macam pengandaian berawal “kalau” dan “seandainya”.
Sudah sangat jamak dalam kehidupan kita bahwasanya manusia belajar dari kesalahan. Sayangnya, banyak manusia yang terlalu sombong untuk belajar dari kesalahan orang lain. Menantang maut demi gengsi dan penampilan. Akibatnya, banyak di antara manusia yang membiarkan dirinya memetik buah dari kesalahan diri sendiri yang semestinya bisa dihindari.
Kita yang berusia muda kadang terlalu angkuh untuk menuruti nasehat orang tua. Dengan keyakinan kalau sekarang bukan jaman mereka lagi, kita lantas menyepelekan nasehat orang tua yang pastinya lebih banyak mengecap pahitnya hidup. Akibatnya, kita kembali jatuh dalam lobang kesalahan yang sama yang membuat nasib sama malangnya dengan pembuat kesalahan terdahulu.
Kalau mau jujur, hati kecil kita sebenarnya menyadari kalau kita sedang berbuat salah dan bermain dengan maut di jalanan. Namun kadang perasaan dan nurani selalu dikalahkan oleh kesombongan dan gengsi. Kita sadar kalau tidak memakai helm itu salah dan membahayakan. Kita juga tahu memodifikasi kendaraan di luar standar keamanan juga tidak aman.
Namun kita terlalu sering menyepelekan kesadaran dan mengkompromikan kesalahan seraya berkata, “ semua akan baik-baik saja, asal berpandai-pandai”. Maka, di saat kita lengah dan mulai mengkompromikan kesalahan itu dengan nafsu, maka siap-siaplah kita akan jatuh di lobang kesalahan yang membahayakan. Dan alangkah pandirnya kita melebihi seekor keledai, karena keledai pun tidak akan jatuh di lobang yang sama.

No comments: