Translate

Wednesday, December 28, 2011

Amphibian


Matahari bersinar terik siang itu. Aku membiarkan diriku dipagut rasa malas berusaha bersembunyi dari garangnya sinar matahari. Di bawah bayangan atap belakang rumah, aku duduk-dudak sambil menikmati hembusan angin. Aku lepaskan pandangan kepada tiga ibu-ibu yang sedang mencuci piring dan mengambil air di kolam, tidak jauh dari belakang rumah petak. Di sana, aku juga melihat Pajok dan Doni menemani ibu mereka sambil bermain air.
Ku dengar Pajok menyorak sambil melambaikan tangannya memanggilku. Ajakannya kubalas dengan senyuman dan gelengan. Mereka tidak begitu terpengaruh dengan penolakanku dan kembali mengaduk-aduk kubangan tempat pembuangan air cucian ibu mereka menggenang.
Yah, di belakang rumah kontrakan kami adalah lahan kosong - juga bekas sawah - yang lumayan luas. Di tengah lapangan yang ditumbuhi rumput ilalang itu terdapat kolam, bekas kubangan kerbau yang mata airnya tidak berhenti mengeluarkan air. Ibu-ibu dari Bagian Belakang sering mengambil air untuk masak dan mencuci di sana. Sementara anak-anaknya menjadikan kolam itu sebagai salah satu tempat bermain mereka. Anak-anak Muka menjauhinya karena dilarang orang tua mereka yang takut anaknya tercebur di sana.
Di dalam kolam itu banyak berudu yang kami sebut garundang berenang-renang. Sedangkan di pinggir atasnya, di balik batu-batu kasar sering bersua katak-katak besar. Katak-katak sawah itu akan melompat ke dalam sumur, berenang bersama garundang ketika mereka merasa kegerahan dan kekeringan atau ketika batu-batu tempat mereka sembunyi diusik anak-anak. Setiap malam terutama di musim hujan, katak-katak itu mendengkung keras sahut menyahut, menemani sepi Orang Belakang. Dengkungan mereka bahkan menyaingi kerasnya suara televisi Orang-orang Muka.
Sungguh suatu kebetulan kontrakan kami berada di sisi akhir paling ujung Bagian Muka yang berdekatan dengan Bagian Belakang. Maka, ibarat katak-katak di pinggir kolam itu, kami juga berada di antara dua habitat. Berhubungan baik dengan Orang Belakang tapi juga tidak bisa lepas dari Orang Muka.
Berada di antara Orang Muka dan Orang Belakang membuat aku belajar memahami kondisi sosial yang berbeda. Aku mengerti bagaimana sifat dan perangai Orang-orang Muka yang merasa bangga dengan kaya mereka. Aku juga paham dengan kesulitan dan pahitnya hidup Orang-orang Belakang.
Di usia kanak-kanak itu aku sudah bisa menyimpulkan bahwa orang-orang kaya suka segala puja-puji. Mereka bisa menjadi sangat ramah kalau disanjung, namun marah kalau ditandingi. Mereka pantang disama-samakan. Jangankan kalah, sama pun mereka tidak mau. Agar tetap diberlakukan berbeda dan istimewa, orang kaya jadi cenderung loba dan kikir. Semakin kaya, semakin tidak puas menumpuk harta dan semakin perhitungan pula mengeluarkan pundi-pundinya untuk orang lain. Kalaupun mau berdana, biasanya sifatnya ria.
Lain cerita, orang miskin justru suka dikasihani. Mereka menjadi terbuka kalau kesusahan dan derita mereka mau dipahami dan dimengerti. Walau terkadang gengsi, namun mereka jarang menolak saat diberi. Dengan alasan demi sesuap nasi, mereka rela menyusahkan dan merendahkan harga diri.
Akibatnya, orang miskin adalah komunitas empuk bagi orang kaya untuk dimanfaatkan dan diperdaya demi mempertahankan dan menumpuk harta mereka. Tidak heran kalau banyak orang tak punya yang benci dengan kaum berada. Meski sebenarnya kedua kelompok ini tidak bisa hidup tanpa salah satu di antara keduanya.
*
Peristiwa kekerasan yang dialami Uni telah menorehkan luka di hati kami, terutama Abah dan Ibu. Bagaimana tidak, Abah dan Ibu belum pernah sekalipun melekatkan tangannya pada kami, seberapapun nakalnya kami. Tapi hanya karena sebuah termos tua, Uni ditangani dan dijadikan sasaran latihan silat anak tetangga yang merasa dirinya hebat dan kaya.
Sejak kejadian itu, tidak cuma posisi kerja Abah dan Ibu yang berputar balik. Ibu lebih preventif dan makin sulit beradaptasi dengan para tetangga Bagian Muka. Kepada kami Ibu jadi lebih nyinyir soal pergaulan. Di atas semua itu, Ibu selalu menekankan kekurangan keluarga kami agar kami anak-anaknya bisa lebih tahu diri. Saat itu aku merasa betul-betul tinggal di keluarga miskin. Definisi kemiskinan itu adalah keluarga kami.
“Kalian rukun-rukun dan bermain sajalah bertiga di rumah. Kita ini miskin, tidak perlu ikut-ikut bergaul dengan orang kaya itu. Mereka tidak akan mau berteman dengan orang tak mampu seperti kita,” pesan Ibu selalu sebelum berangkat ke pasar.
Doktrin ibu dan pengalaman buruk Uni membuat kami sedikit traumatis. Kami jarang  main ke rumah Anak-anak Muka. Petuah Ibu telah memengaruhi kami; kami jadi lebih tahu diri dan tidak penuntut. Kami jadi sadar kekurangan kami. Untuk meminta sesuatu yang diperlukan sekalipun kami berhati-hati, karena takut Abah dan Ibu belum tentu mampu menyanggupi.
Tapi anak-anak tetaplah anak-anak. Walau masih membekas di hati, kebencian pada Anak-anak Muka tidak bertahan lama. Dendam itu tidak bersarang di hati. Meski tidak lagi bertandang ke rumah Anak-anak Muka, kami tetap saja bermain bersama mereka. Uni sesekali masih bermain dengan kawan-kawannya, Abang dan aku juga bermain dengan anak-anak sepantaran kami.
Karena kami tidak lagi bermain ke rumah mereka, merekalah yang bertandang ke rumah kami, membawa mainan mereka sendiri. Sepanjang kami ikut senang, Abah tidak mempersoalkan kehadiran anak-anak lain di rumah. Masalah justru datang dari orang tua kawan-kawan kami itu. Tidak sekali dua kali Anak-anak Muka itu dijemput paksa orang tuanya atau dilarang main ke rumah kami.
Selain dengan Anak-anak Muka, jaringan pertemananku turut berkembang dengan Anak-anak Belakang. Bersama mereka aku menemukan banyak kesamaan dan kesenangan. Bermain dengan anak-anak belakang adalah memasuki dunia fantasi anak-anak yang sesungguhnya. Aku tidak perlu membawa-bawa mainan pabrik karena anak-anak belakang tidak mengandalkan mainan artifisial untuk hiburan. Mereka kreatif mengeksplorasi imajinasi untuk memenuhi keliaran anak-anak. Mereka bisa melakukan apa saja demi keasikan dan kesenangan. Dan bagi mereka alam telah memberikan lebih dari cukup untuk semua itu.
Bersama Anak-anak Belakang aku bisa terlibat dalam petualangan. Kami menjelajah Bukit Sijundai, menelusuri aliran anak sungai di sepanjang kaki bukit sambil menangkap ikan dan mencari pensi. Di tempat-tempat alami seperti itu aku menikmati aksi seru dan menegangkan; Menjadi detektif atau berburu hantu. Kami mengembara dalam perseteruan khayalan di dunia persilatan nan penuh misteri. Kami bertarung menirukan laga lakon drama radio Saur Sepuh yang sangat populer saat itu. Kami berteriak “Ciaat..!”, melompat seolah terbang dari satu pohon ke pohon lain, bersilat dan kadang menguji adrenalin dengan meluncur dari pinggang bukit di atas pelepah kelapa.
Kadang kami terlibat dalam epos peperangan imajinatif antara tentara Indonesia melawan Belanda, bersenjatakan pistol yang dibuat dari potongan papan bekas dan pelepah pisang. Lapangan, rimbunan semak, gundukan bekas pematang sawah dan pepohonan adalah arena tempur kami.
Pemenang dari setiap peperangan dan pertempuran itu biasanya bersifat suka rela. Mereka yang kelelahan dan kecapean biasanya mengalah dan mundur dengan cara pura-pura tewas kena tembakan atau berbagai ilmu dan ajian lawan main.
Selain itu ada pula aksi Serangan Pasar. Biasanya aksi ini kami lakukan usai mandi-mandi di kolam. Syafri, dedengkot anak paling tua di komunitas Anak Belakang mengomandokan kami pergi ke Pasar Bawah mencari berbagai macam bahan masakan yang dipungut dari sisa-sisa atau jualan pedagang yang tercecer. Invasi itu biasanya menghasilkan beberapa butir cabe, bawang, ikan asin, patahan kerupuk, helai-helai sayur yang dibuang, kentang, dan berbagai bahan masakan lainnya.
Bahan yang terkumpul kami masak. Alat memasak dan kekurangan bahan dilengkapi oleh anak-anak yang mencuri-curi dapur ibu mereka. Selanjutnya tiap anak membawa sendiri nasi dari rumah untuk di makan dengan lauk dan sayur hasil operasi kami. Masakan kami beragam, mulai dari tumis sayur, ikan asin goreng balado, nasi goreng bahkan kalau kami beruntung kami bisa masak asam pedas dengan bermacam isi sayur dan lauk. Entah karena lapar setelah bermain dan masak, namun rasa masakan dari bahan-bahan sisa dan buangan itu selalu terasa enak.
Tidak selamanya setiap aksi seru kami dibiarkan orang tua anak-anak belakang begitu saja. Ketika kami bergerombolan pulang dalam keadaan kumal dari bukit, Ibu Anto yang suaminya buruh angkat di Pasar Bawah sering memberi teguran.
“Kalian kalau mandi-mandi jangan tengah hari, bisa-bisa nanti kalian tasapo[1]! Dan kamu!” tegurnya galak sambil mengarahkan telunjuknya ke hidungku “Anak Muka main pula ke belakang. Nanti orang tua kamu marah karena main-main ke sini,”
Kalau sudah begitu, aku hanya bisa tersenyum masam dan kembali lari ke muka, untuk berganti habitat.

Bersambung ke

Romi dan Juli



[1] Kesurupan. Orang-orang tua meyakini kalau main ke daerah berair seperti sungai atau kolam di waktu-waktu salat akan gampang kesurupan

6 comments:

Anonymous said...

natural buangeteeettzzz....

nath said...

mampir sjenak, ceritanya asik, jdi ingat si bolang:)
salam kenal ya.

Hendra said...

Hi. Makasih udah mampir. Tujuannya cuma satu, mudah2n ada yg suka dg tulisan2 saya. Salam kenal juga :)

Bunda Cely said...

saia suka kok :D

Bunda Cely said...

Saia suka kok :D

007711 said...

mantaaapzzzzz.... da hen.... lanjutkan...