Translate

Thursday, September 20, 2012

Peduli Kulit

Dulu, saat masih kuliah saya sangat terpesona melihat penampilan seorang dosen yang tidak hanya cantik secara fisik tapi juga pintar berbusana. Saya selalu terpukau dengan inovasi-inovasi cara berpakaiannya di setiap kali pertemuan. Selain dia, ada juga dosen wanita yang membuat saya terpukau dengan gaya dan penampilannya yang santai abis. Mereka berdua sangat keluar dari pakem dosen yang serba formal dan kaku. Saya suka gaya mereka, sangat orisinil.

Ketika berkesempatan kuliah di Belanda, saya makin tercengang-cengang dengan para professor yang tampil apa adanya. Beda dengan dosen-dosen Indonesia yang saya ketahui secara umum, mereka terlihat lebih cuek dan santai. Tidak ada kesan formalitas dan kaku dari penampilan mereka. Kuliah dengan mereka pun jadinya tidak penuh tekanan,-kecuali untuk soal tugas dan nilai. Meski diajar oleh dosen yang santai, orang-orang yang dihasilkan perguruan tinggi sana, bagus-bagus dan berkualitas.

Sekarang, giliran saya yang berada di depan kelas, menjadi dosen bagi ratusan mahasiswa. Saya mencoba bersikap apa adanya, menjadi diri sendiri. Menjadi jurnalis, pekerja lapangan dalam kurun waktu yang lama dan tercatat pernah menjadi duta wisata membuat saya terbiasa dengan pakaian santai modis dengan pembawaan blak-blakan. Gaya itu pula yang saya bawa ke dalam kelas. Dan itu direspon positif oleh mahasiswa saya. Barangkali saja, mata mereka sudah bosan dengan dosen yang kaku dengan penampilan yang monoton yang menjenuhkan.

Untuk penampilan saya yang tidak jamak di lingkungan akademisi itu, saya pernah ditegur. Dan sebagai orang berpendidikan yang bekerja pada institusi formal, jelas saya harus mengikuti aturan yang ada. Namun, pertanyaan tetap menggantung dalam benak saya, ada korelasi apa antara memakai jeans dengan materi perkuliahan?

Masyarakat kita masih cenderung terjebak dalam hal kulit-kulit. Warga tidak diijinkan masuk kantor camat karena memakai sandal jepit. Siapa tahu warganya tidak mampu dan tidak punya sepatu? Murid-murid ke sekolah harus memakai sepatu warna hitam. Mahasiswi harus mengenakan rok, tidak boleh pakai celana panjang, walau kadang dosen perempuannya malah pakai legging ke kampus. Lamaran CPNS harus pakai map dan kertas ukuran tertentu.

Saking sibuknya dengan urusan luar, kita jadi lupa dengan substansi dari pekerjaan dan urusan yang akan dilakukan. Dan hal itu terjadi tidak hanya di level birokrasi saja. Mahasiswa pun bahkan terjebak dalam “urusan kulit” serupa. Mau masuk perguruan tinggi saja, harus ada ospek yang dilewati. Sialnya, ospek yang dilakukan para seniornya itu tidak mendidik dan tidak ada kaitannya dengan peningkatan kapasitas manusia.
Sebenarnya, peduli pada hal kulit-kulit dan tetek bengek yang tidak penting ikut menghambat kemajuan kerja bangsa ini. Sementara inti dari persoalan belum tersentuh dan tidak terselesaikan. Perlu kiranya kita mengubah kacamata dan sudut pandang kita terhadap segala sesuatu. Kita tidak boleh hanya memandang persoalan, pekerjaan masalah atau apapun itu dari luarnya saja. Perlu teropong atau mungkin mikroskop untuk lebih memahami substansi dari semuanya itu. Dan alat-alat itu kita tempatkan dalam hati dan pikiran.

No comments: