Dulu, saat masih kuliah saya sangat terpesona melihat penampilan seorang
dosen yang tidak hanya cantik secara fisik tapi juga pintar berbusana.
Saya selalu terpukau dengan inovasi-inovasi cara berpakaiannya di
setiap kali pertemuan. Selain dia, ada juga dosen wanita yang membuat
saya terpukau dengan gaya dan penampilannya yang santai abis. Mereka
berdua sangat keluar dari pakem dosen yang serba formal dan kaku. Saya
suka gaya mereka, sangat orisinil.
Ketika berkesempatan kuliah di
Belanda, saya makin tercengang-cengang dengan para professor yang tampil
apa adanya. Beda dengan dosen-dosen Indonesia yang saya ketahui secara
umum, mereka terlihat lebih cuek dan santai. Tidak ada kesan formalitas
dan kaku dari penampilan mereka. Kuliah dengan mereka pun jadinya tidak
penuh tekanan,-kecuali untuk soal tugas dan nilai. Meski diajar oleh
dosen yang santai, orang-orang yang dihasilkan perguruan tinggi sana,
bagus-bagus dan berkualitas.
Sekarang, giliran saya yang berada di
depan kelas, menjadi dosen bagi ratusan mahasiswa. Saya mencoba bersikap
apa adanya, menjadi diri sendiri. Menjadi jurnalis, pekerja lapangan
dalam kurun waktu yang lama dan tercatat pernah menjadi duta wisata
membuat saya terbiasa dengan pakaian santai modis dengan pembawaan
blak-blakan. Gaya itu pula yang saya bawa ke dalam kelas. Dan itu
direspon positif oleh mahasiswa saya. Barangkali saja, mata mereka sudah
bosan dengan dosen yang kaku dengan penampilan yang monoton yang
menjenuhkan.
Untuk penampilan saya yang tidak jamak di lingkungan
akademisi itu, saya pernah ditegur. Dan sebagai orang berpendidikan yang
bekerja pada institusi formal, jelas saya harus mengikuti aturan yang
ada. Namun, pertanyaan tetap menggantung dalam benak saya, ada korelasi
apa antara memakai jeans dengan materi perkuliahan?
Masyarakat kita
masih cenderung terjebak dalam hal kulit-kulit. Warga tidak diijinkan
masuk kantor camat karena memakai sandal jepit. Siapa tahu warganya
tidak mampu dan tidak punya sepatu? Murid-murid ke sekolah harus memakai
sepatu warna hitam. Mahasiswi harus mengenakan rok, tidak boleh pakai
celana panjang, walau kadang dosen perempuannya malah pakai legging ke
kampus. Lamaran CPNS harus pakai map dan kertas ukuran tertentu.
Saking sibuknya dengan urusan luar, kita jadi lupa dengan substansi dari
pekerjaan dan urusan yang akan dilakukan. Dan hal itu terjadi tidak
hanya di level birokrasi saja. Mahasiswa pun bahkan terjebak dalam
“urusan kulit” serupa. Mau masuk perguruan tinggi saja, harus ada ospek
yang dilewati. Sialnya, ospek yang dilakukan para seniornya itu tidak
mendidik dan tidak ada kaitannya dengan peningkatan kapasitas manusia.
Sebenarnya, peduli pada hal kulit-kulit dan tetek bengek yang tidak
penting ikut menghambat kemajuan kerja bangsa ini. Sementara inti dari
persoalan belum tersentuh dan tidak terselesaikan. Perlu kiranya kita
mengubah kacamata dan sudut pandang kita terhadap segala sesuatu. Kita
tidak boleh hanya memandang persoalan, pekerjaan masalah atau apapun itu
dari luarnya saja. Perlu teropong atau mungkin mikroskop untuk lebih
memahami substansi dari semuanya itu. Dan alat-alat itu kita tempatkan
dalam hati dan pikiran.
No comments:
Post a Comment