Ini cerita singkat pada suatu sore, di kampus kecil tempat saya mengajar di Bukittinggi. Bagi para mahasiswa, jelang Magrib adalah saat yang mengasyikkan untuk kumpul-kumpul di area kampus. Selain emang ada jadwal kuliah, banyak juga mahasiswa yang sengaja mejeng mencari perhatian dari sesame mahasiswa. Sukur-sukur nantinya terjalin cinta lokasi.
Pada suasana yang sedikit ramai itu, saya melihat salah satu mahasiswa yang semester sebelumnya pernah masuk kelas saya dengan riang gembiranya hilir mudik sana sini dengan sepeda. Wajahnya sumringah dan senyum dan tawanya tak putus-putus menghiasi wajahnya. Berbeda sekali dengan perilakunya yang sangat pendiam dan “tidak berkutik” ketika di dalam kelas. Saya merasa melihat kepribadian yang berbeda dari orang yang sama.
Bukan perilaku itu saja yang membuat saya takjub melihatnya, penampilannya pun membuat saya silau. Rambutnya sekarang tidak lagi hitam melainkan pirang, sangat pirang! Terlepas dari fisiknya yang agak kecil, warna rambut seperti itu cukup pas dengan kulitnya yang putih. Tapi bukan persoalan kecocokan warna kulit, bentuk tulang muka yang mongoloid dan warna rambut yang jadi masalah. Yang jelas, ada hal tidak terjelaskan yang membuat penampilan si mahasiswa itu tidak menyatu. Bukannya terlihat trendy dan gaya, dia jadi terlihat norak. Alay.
Iseng-iseng usil saya bertanya padanya apakah kebulean rambutnya sefasih bahasa inggrisnya. Dengan tersipu-sipu dia menundukkan kepala. Saya merasa sedikit bersalah membuat dia terlihat semakin alay saja.
Menurut penelusuran saya di Wikipedia, alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia. "Alay" merupakan singkatan dari "anak layangan"atau "anak lebay". Istilah ini merupakan stereotip yang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan. Selain itu, alay merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan dan selalu berusaha menarik perhatian. Alay merupakan sekelompok minoritas yang mempunyai karakterisitik unik di mana penampilan dan bahasa yang mereka gunakan terkadang menyilaukan mata dan menyakitkan telinga bagi mayoritas yang tidak terbiasa bersosialisasi dengannya. Biasanya para Alayers (panggilan para Alay) mempunyai trend busana tersendiri yang dapat menyebar cepat layaknya wabah virus dikalangan para Alayers yang lain, sehingga menciptakan satu keseragaman bentuk yang sedikit tidak lazim.
Saya sendiri bukan tipikal orang yang keberatan dengan berbagai gaya dan inovasi penampilan. Bahkan saya terkadang agak santai untuk hal-hal semacam itu. Misalnya saja, di saat para dosen lain mengajar berpenampilan formal, saya kadang malah mengajar pakai celana jeans dan baju kaos. Tapi prinsipnya tetap sama, tidak norak dan tidak bertolak belakang dengan kepribadian dan aura dari dalam yang saya tampilkan.
Sekarang ini, banyak sekali remaja termasuk mahasiswa yang berpenampilan asalan. Sekedar mengikuti trend dan mode. Jilbab berlapis, mata berwarna warni, blink-blink sana-sini, pakaian ala artis korea, dan masih banyak lagi referensi gaya yang ditiru.
Tentunya hal itu tidak menjadi masalah sepanjang patut, pantas dan cocok. Kecocokan tidak hanya dari bentuk luar, tapi juga kecocokan dari dalam diri. Ini yang sangat penting. Orang yang punya intelejensi bagus, pintar, berkarakter kuat, menampilkan gaya apapun akan terlihat saling mendukung. Sebaliknya, jika tidak cocok dengan fisik dan karakter dari dalam akan terlihat norak. Bukannya gaya tapi justru terlihat alay.
No comments:
Post a Comment