Translate

Monday, January 16, 2012

Tuan Takur dan Terornya


Rumah petak tempat tinggal kami dimiliki Pak Rajis. Aku tidak pernah tahu entah siapa nama lengkapnya. Namun begitulah ia akrab dipanggil oleh orang-orang di Kampung Paduan. Pada dasarnya, Pak Rajis seorang yang kaya karena harta orang tuanya. Dari amak dan bapaknya dia memperoleh beberapa tanah dan rumah petak untuk disewakan di Kampung Paduan.
Melihat fisik dan penampilannya ibarat menyaksikan tokoh antagonis seorang rentenir yang ada di sinetron-sinetron atau tuan takur tak punya hati di film-film India. Nyatanya, Tuan Takur adalah julukan yang diberikan orang-orang di belakangnya. Suatu kebetulan ada kemiripan nama antara Rajis dan Raju, yang sering disebut di film India.
Umur Pak Rajis hampir setengah abad. Tubuhnya besar, membulat di bagian perut. Kulitnya kasar berwarna hitam legam. Mukanya banyak ditumbuhi keratosis seroboik, bintik-bintik kehitaman, terutama di bagian leher, pipi dan area mata. Hidungnya bulat dengan pori-pori besar dan bopeng bekas liang jerawat. Matanya merah membelalak seperti orang yang baru saja mengejan teramat keras. Hampir seluruh jari tangannya yang gemuk-gemuk pendek dipasangi ikat cincin dari besi putih berbatu akik besar-besar. Di bawah dagunya yang seperti bertembolok, melilit rantai emas besar. Tidak puas dengan aksesoris di sekujur tubuhnya itu, ia melapisi pula dua gigi seri bagian atasnya dengan emas.
Kehadiran Pak Rajis selalu menebar teror psikologis di sekelilingnya. Konon ia adalah mantan preman yang sering keluar masuk kandang situmbin[1]. Kasusnya banyak, mulai dari berjudi, menipu, melakukan penganiayaan dan berbagai perbuatan keji lainnya. Kebiasaan lain tuan takur satu ini adalah senang main perempuan. Istri dan jandanya banyak, konon karena hasil jimat-jimat dan jampi-jampi dari kebiasaanya yang pedukun. Konon kabarnya, selain di Kampung Paduan, ia juga punya tanah yang diperoleh  dari wanita-wanita kaya yang dikawininya. Sungguh kalau melihat jasadnya, tidak ada yang akan menyangsikan kisah konon itu.
Orang tua Pak Rajis tinggal di Kampung Paduan, di rumah kedai yang bersebelahan dengan pangkal Rumah Petak. Mereka adalah pemilik kontrakan itu meski uang sewa penghuninya selalu jatuh ke tangan Pak Rajis.
Sama seperti kami, bagi pasangan jompo tersebut kedatangan Pak Rajis tidak pernah diharapkan. Sifat jahanamnya membuat kedua orang tua tersebut  tidak merasa nyaman dan takut akan kehadiran darah daging mereka sendiri.
Pernah pada suatu siang yang tenang, saat orang-orang malas ke luar karena panas siang, warga dikejutkan lengkingan pilu laki-laki tua. Raungan itu berasal dari kedai milik Bapak si Tuan Takur. Tidak berapa lama berselang, Pak Rajis bergegas keluar dari rumah kedai itu. Wajahnya yang hitam kian kelam pekat. Matanya liar dan merah nyalang.
“Anak durhaka! Belum puas juga kau menyiksa kami. Keluar dari rumah den..[2]!” teriak Ibu Pak Rajis dari dalam mengiringi kepergiannya.
Baru setelah Pak Rajis benar-benar pergi warga berani melihat ke dalam rumah. Di dalam, Ibu Pak Rajis terduduk meratapi suaminya yang terkulai lemah di pinggir tangga kayu, penghubung kedai yang di lantai bawah dengan bilik-bilik di lantai atas. Tubuh lelaki kurus kecil itu gemetar. Ia berkata-kata gagap tidak jelas. Mukanya pucat, dari pelipisnya mengalir darah segar.
“Apa dosa kami sampai punya anak durhaka seperti itu?” ratap Ibu tua itu sambil menghapus luka suaminya dengan ujung selendangnya. Mukanya basah karena air mata, sementara suaminya masih tergagap-gagap menahan sakit. Dari penuturan singkat ibu tua itu diketahui kalau suami dan anaknya baru saja bersitegang karena Pak Rajis memaksa Bapaknya menjual tanah lagi untuk menutup hutangnya akibat kalah berjudi. Namun bapak tua itu bersikukuh kalau tanah itu tidak akan dijual terlebih untuk penutup hutang anaknya itu. Sudah banyak harta mereka yang ia peloroti. Penolakan itu kontan membuat si Malin Kundang kalap. Setelah sempat beradu fisik, bapak yang sudah uzur itu kalah dan dia terdorong jatuh dari atas tangga hingga terjeremban ke lantai bawah.
*
Setiap Pak Rajis datang ke rumah kami, aku selalu bersembunyi di balik pintu. Sementara Abang dan Uni memilih lari ke dapur atau ke luar rumah. Dari raut mukanya yang melihat ketakutan kami, Aku tahu kalau Pak Rajis menikmati horor yang ia timbulkan. Kadang ia sengaja menyeringai atau membelalakkan mata ke sela pintu tempat aku bersembunyi. Sepertinya dia tahu aku mengintip dari balik celah pintu. Dan nyaliku langsung ciut.
Dari segi perhitungan, praktiknya kami bertemu dengan Pak Rajis hanya sekali setahun, yaitu setiap kali uang sewa dibayarkan. Tapi pemilik kontrakan yang satu ini memang durjana yang menikmati tekanan pada orang-orang lemah. Ia acap muncul ke kontrakan kami sambil membahas soal tetek bengek rumah yang tidak penting. Sementara kepada keluarga tetangga yang berpangkat dan saudagar daging, Rajis menunjukkan sikap sedikit segan. Ia gampang melunak. Mana mau ia melawan orang berpangkat kalau tantangannya masuk bui lagi. Atau mana mungkin ia berani bersitegang dengan pedagang daging yang lebih muda dengan otot lebih besar dan padat. Terlebih lagi para pedagang daging juga punya persatuan nan solid sesama pedagang terdiri dari orang-orang yang tidak kalah tegap dan kekar.
Maka Abah yang bertubuh kecil dan tidak banyak bicara serta Ibu yang juga pendiamlah korban empuk buaya tua itu. Kepada Abah dan Ibu, Pak Rajis sering meminta uang kontrakan jauh sebelum akhir kontrak jatuh tempo. Kadang ia mengeluhkan kalau rumahnya rusak sehingga butuh uang perbaikan, walau perbaikan yang dia katakan tidak pernah dikerjakan. Selalu ada saja alasannya untuk memeras dan meminta uang tambahan dari kami.
Pernah suatu waktu, Ibu tinggal di rumah dan Abah yang pergi ke Pasar. Meski tidak terlalu sering, pergantian ini dilakukan untuk mengimbangi kedekatan dan perhatian pada kami.
Saat itu Ibu yang telah selesai dengan segala urusan rumah dan keperluan kami, sedang mandi. Ibu tiba-tiba mendengar pintu kamar mandi diketok. Mengira itu adalah ketokan salah seorang dari kami, Ibu membuka sedikit pintu dan mengulurkan muka. Wajah Ibu mendadak pasi melihat di depan kamar mandi sudah berdiri Pak Rajis sambil menyeringai ke arahnya. Mata merahnya melirik liar. Ibu langsung membanting dan mengunci pintu kamar mandi.
Ada keperluan apa Bapak masuk rumah tanpa minta ijin dulu?” Tanya ibu terbata, suaranya serasa tercekat di tenggorokan. Pikiran ibu langsung pada reputasi kejahatan kelamin Pak Rajis terhadap perempuan. Tubuh kecilnya yang hanya berbalut handuk bergetar.
“Hei.. apa urusan kau menyuruhku minta ijin dulu. Ini rumah den. Kau hanya penyewa di sini!” salak Pak Rajis dengan suara meninggi. Kata “kau” untuk sebutan orang kedua bagi perempuan Minang adalah ungkapan yang kasar.
“Tapi suami saya sedang tidak ada di rumah dan tidak pantas Bapak masuk begitu saja ke dalam,” balas Ibu yang tidak berhenti menggigil ketakutan.”Sebaiknya Bapak keluar sekarang atau saya akan berteriak!”
Kalera[3] mah!! Den  pula yang kau ajari!” teriaknya menyerupai gonggongan sambil memukul keras pintu kamar mandi.
Dentuman hebat dari balik pintu membuat jantung Ibu seakan lepas. Ibu tergagau sambil membaca istighfar. Dengan gigi yang ikut bergemeletuk ibu berdoa agar laki-laki itu segera pergi. Punggungnya ia sandarkan keras ke pintu yang sudah langsung ia pasak setelah melihat Pak Rajis.
Setelah dentuman keras itu, Ibu tidak mendengar ada suara apa-apa lagi. Hampir satu jam Ibu berada dalam kamar mandi yang kecil itu, memastikan kalau Pak Rajis sudah pergi dari rumah. Ibu baru keluar setelah Abang masuk rumah mencari-cari Ibu minta dibuatkan susu. Begitu pintu terbuka, Ibu langsung memeluk Abang sambil sesegukan. Abang yang tidak tahu menahu ikut menangis dalam pelukan erat Ibu.





Tuntaskan kelanjutannya di Bab berikutnya....


[1] Bui
[2] Saya
[3] Carut dalam bahasa Minang

2 comments:

sulung said...

this part is pretty fresh and it surprises your faithful readers actually. we are waiting to see what harms and conflicts this character is going to bring to the family....a very nice description of the character that horror was to followed after reading that description...ugly and disgusting man...I personally was very worried about ibu's well being when this monster was banging the fragile toilet door...well done

sulung said...

this part is pretty fresh and it surprises your faithful readers actually. we are waiting to see what harms and conflicts this character is going to bring to the family....a very nice description of the character that horror was to followed after reading that description...ugly and disgusting man...I personally was very worried about ibu's well being when this monster was banging the fragile toilet door...well done