Translate

Thursday, September 20, 2012

Individualis atau Berkelompok ? (III)

Di saat globalisasi menjadi kambing hitam, banyak kalangan remaja yang menganggap dirinya sudah berbudaya barat. Berbudaya barat dalam konteks remaja kita adalah, cuek, tidak acuh dengan lingkungan, suka pamer dan suka memberontak. Mereka bangga dengan label barat yang melekat pada produk yang mereka pakai, ngomong seenaknya sebagaimana tontonan Hollywood yang mereka saksikan di film-film.

Di sisi lain, kebiasaan suka kumpul-kumpul, membagi masalah dengan teman-teman lewat curhatan, dan bergosip tetap jalan terus. Jalan ke mall nggak asik kalo nggak sama-sama. Bikin tugas kuliah lebih sering bareng teman. Makan sama-sama acap mengandalkan traktiran atau sebaliknya. Pokoknya kompak deh.
Cara berfikir individualis memang sering disalah-artikan. Parahnya lagi, sering salah menerapkan. Seperti cerita minggu lalu, individualis itu bukannya cuek dan gak mau tahu dengan sekitar, tapi lebih pada objektivitas pribadi. Kesalahan melihat dan menerapkan itu akibatnya meruntuhkan nilai-nilai positif budaya berkelompok sehingga yang tampak justru buruknya saja.

Menurut Geert Hofstede, dalam budaya berkelompok pertimbangan kelompok atau keluarga menjadi sangat dominan dalam pengambilan keputusan. Seseorang sangat terintegrasi terhadap kelompok dan orang-orang di sekitarnya. Misalkan saja, kalau kita melakukan suatu perbuatan, maka yang jadi pertimbangan utama adalah keluarga. Kalau kita salah, maka keluarga, suku atau kelompok di belakang kita juga dianggap salah. Kalau kita gajian, ada pertimbangan untuk berbagi dengan orang tua atau saudara. Suatu kebiasaan yang tidak berlaku di kalangan individualis.
Kita, yang di Timur, dengan budaya berkelompok jelas berbeda dengan para individualis. Tidak ada yang salah dengan budaya kita, dan tidak ada pula yang salah dengan budaya mereka. Bukankah baik membantu orang tua dan keluarga. Dan tentu baik pula menimbang perasaan orang lain terhadap akibat perbuatan kita. Gotong royong manifetasi dari budaya berkelompok juga telah terbukti mempererat silaturahmi antara sesame. Yang pasti ada sisi positif dalam budaya individualis, dan ada sisi baik pula dalam budaya berkelompok.

Sayangnya, ketidakpahaman kita terhadap budaya luar telah membuat sebagian remaja kita jadi kehilangan arah yang cenderung mencampur adukkan berbagai hal. Bahkan antara yang baik dan buruk jadi terlihat abu-abu, tidak jelas. Mereka hanya menyerap apa yang tampak, dan mencampakkan begitu saja apa yang ada pada diri mereka. Parahnya, apa yang dicampakkan justru yang baiknya, yang tinggal malah sisi buruknya.

Banyak remaja berubah menjadi bunglon yang tidak memiliki jati diri. Ketika seorang teman banyak memberi, mereka melakoni peran budaya berkelompok dengan baiknya. Ngumpul sama-sama, makan seperiuk bersama, berbagi gossip, atau malah membagi derita. Namun ada kalanya ketika si teman dalam masalah, kita justru pergi meninggalkannya begitu saja. Berlaku seolah dirinya adalah sosok individualis yang tidak mau tahu urusan orang lain. Banyak yang alpa bahwasanya seorang individualis pun sangat menghargai pertemanan dan persahabatan.

Dimensi budaya boleh saja berbeda namun hati tetap menjadi sandarannya. Kalau ingin meniru budaya baru, bukan berarti harus mematikan hati sehingga apa yang salah menjadi benar dan sebaliknya apa yang benar justru menjadi salah. Manusia yang berbudaya tentunya bukan manusia yang hanya asal comot saja apa yang ada di hadapannya.

No comments: