Di saat globalisasi menjadi kambing hitam, banyak kalangan remaja yang
menganggap dirinya sudah berbudaya barat. Berbudaya barat dalam konteks
remaja kita adalah, cuek, tidak acuh dengan lingkungan, suka pamer dan
suka memberontak. Mereka bangga dengan label barat yang melekat pada
produk yang mereka pakai, ngomong seenaknya sebagaimana tontonan
Hollywood yang mereka saksikan di film-film.
Di sisi lain, kebiasaan
suka kumpul-kumpul, membagi masalah dengan teman-teman lewat curhatan,
dan bergosip tetap jalan terus. Jalan ke mall nggak asik kalo nggak
sama-sama. Bikin tugas kuliah lebih sering bareng teman. Makan sama-sama
acap mengandalkan traktiran atau sebaliknya. Pokoknya kompak deh.
Cara berfikir individualis memang sering disalah-artikan. Parahnya lagi,
sering salah menerapkan. Seperti cerita minggu lalu, individualis itu
bukannya cuek dan gak mau tahu dengan sekitar, tapi lebih pada
objektivitas pribadi. Kesalahan melihat dan menerapkan itu akibatnya
meruntuhkan nilai-nilai positif budaya berkelompok sehingga yang tampak
justru buruknya saja.
Menurut Geert Hofstede, dalam budaya
berkelompok pertimbangan kelompok atau keluarga menjadi sangat dominan
dalam pengambilan keputusan. Seseorang sangat terintegrasi terhadap
kelompok dan orang-orang di sekitarnya. Misalkan saja, kalau kita
melakukan suatu perbuatan, maka yang jadi pertimbangan utama adalah
keluarga. Kalau kita salah, maka keluarga, suku atau kelompok di
belakang kita juga dianggap salah. Kalau kita gajian, ada pertimbangan
untuk berbagi dengan orang tua atau saudara. Suatu kebiasaan yang tidak
berlaku di kalangan individualis.
Kita, yang di Timur, dengan budaya
berkelompok jelas berbeda dengan para individualis. Tidak ada yang
salah dengan budaya kita, dan tidak ada pula yang salah dengan budaya
mereka. Bukankah baik membantu orang tua dan keluarga. Dan tentu baik
pula menimbang perasaan orang lain terhadap akibat perbuatan kita.
Gotong royong manifetasi dari budaya berkelompok juga telah terbukti
mempererat silaturahmi antara sesame. Yang pasti ada sisi positif dalam
budaya individualis, dan ada sisi baik pula dalam budaya berkelompok.
Sayangnya, ketidakpahaman kita terhadap budaya luar telah membuat
sebagian remaja kita jadi kehilangan arah yang cenderung mencampur
adukkan berbagai hal. Bahkan antara yang baik dan buruk jadi terlihat
abu-abu, tidak jelas. Mereka hanya menyerap apa yang tampak, dan
mencampakkan begitu saja apa yang ada pada diri mereka. Parahnya, apa
yang dicampakkan justru yang baiknya, yang tinggal malah sisi buruknya.
Banyak remaja berubah menjadi bunglon yang tidak memiliki jati diri.
Ketika seorang teman banyak memberi, mereka melakoni peran budaya
berkelompok dengan baiknya. Ngumpul sama-sama, makan seperiuk bersama,
berbagi gossip, atau malah membagi derita. Namun ada kalanya ketika si
teman dalam masalah, kita justru pergi meninggalkannya begitu saja.
Berlaku seolah dirinya adalah sosok individualis yang tidak mau tahu
urusan orang lain. Banyak yang alpa bahwasanya seorang individualis pun
sangat menghargai pertemanan dan persahabatan.
Dimensi budaya boleh
saja berbeda namun hati tetap menjadi sandarannya. Kalau ingin meniru
budaya baru, bukan berarti harus mematikan hati sehingga apa yang salah
menjadi benar dan sebaliknya apa yang benar justru menjadi salah.
Manusia yang berbudaya tentunya bukan manusia yang hanya asal comot saja
apa yang ada di hadapannya.
No comments:
Post a Comment