Akhir pekan lalu menjadi contoh nyata, bahwasanya
Bukittinggi tidak lagi elok sebagai kota wisata dan tidak pula nyaman bagi
warganya. Mengutip antarasumbar.com, setidaknya ada sekitar 100 rumah yang
terendam banjir. Dan, persoalan klasik itu selalu berulang setiap musim hujan
datang. Persoalan banjir di Bukittinggi adalah cermin dari wajah pemerintah,
wajah dari warga dan wajah-wajah orang yang hidup, tinggal atau bekerja di
dalamnya.
Musim penghujan di Bukittinggi akhir-akhir ini ternyata
mengandung cerita lain. Ketika hujan turun deras tiada hentinya, kota yang dulu
disebut kota wisata itu berubah menjadi kota yang memprihatinkan. Kota yang lokasinya tinggi itu justru
terendam banjir di beberapa tempat, menyisakan wajah buruk rupa ketika hujan
reda. Sementara bagi para korbannya, hujan lebat disertai banjir menimbulkan nelangsa
yang sewaktu-waktu kembali tiba.
Menunjuk pemerintah dan pelaku kebijakan sebagai pihak yang
bertanggung jawab adalah lumrah dan pantas. Merekalah yang sepatutnya
mencarikan solusi dan jalan keluar dari masalah musiman itu. Sudah tahu menjadi
masalah musiman, antisipasi konkrit dari persoalan itu kenapa tidak dicarikan?
Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan yang berkesinambungan atau sustainable development yang tidak hanya
sekedar memoles kota, tapi bisa bermanfaat untuk jangka panjang dan generasi
berikutnya. Pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan dan melaksanakan tanpa
tawaran tentang pengolahan sampah di berbagai tempat yang menjadi salah satu
penyebab terjadinya banjir.
Fakta di lapangan, perbaikan saluran air hanya sebatas
peremajaan dan polesan. Kebijakan dilarang membuang sampah sembarangan tidak
ada taring sama sekali. Bahkan saya juga tidak melihat adanya kebijakan
pengolahan sampah yang revolusioner dari pemerintah. Seakan persoalan sampah
bisa teratasi oleh Ngarai Sianok yang menjadi tempat pembuangan akhir.
Seolah-olah kalau ngarai itu belum penuh, maka soal sampah bukan masalah.
Selain pemerintah, warga dan orang-orang yang bekerja atau
sekedar datang ke Bukittinggi juga tidak luput dari dosa penyebab banjir.
Tersumbatnya saluran-saluran air di pinggir jalan dan di bawah pasar adalah
akibat perbuatan warga itu sendiri karena membuang sampah seenaknya. Di
pasar-pasar misalnya, para pedagang tidak ada rasa bersalah membiarkan saja
sampah basah, kering, kecil dan besar ke pinggir jalan. Sepertinya mereka
berharap kotoran yang mereka buang hanyalah tanggung jawab anggota dinas
kebersihan, bukan mereka pribadi.
Begitu pula dengan warga, anak-anak sekolah, anak kuliah dan
banyak lagi macamnya orang-orang di Bukittinggi yang tidak ada rasa malu dan
menyesal membuang sampah sembarangan. Sampah kecil dianggap akan musnah begitu
saja di jalan atau di tanah, sampah besar dianggap akan hanyut begitu saja jika
di buang ke kali dan selokan. Padahal, petaka akibat perbuatan yang tidak
bertanggung jawab itu akan dirasakan juga belakangan, terutama saat musim
hujan.
Bukittinggi itu butuh peremajaan. Peremajaan itu dalam arti
yang sangat luas yakni meremajakan pikiran yang kolot dan meremajakan perilaku
lama ke perilaku modern yang memikirkan kesejahteraan manusia di masa depan. Para
pengambil kebijakan di pemerintah boleh berusia lansia tapi harus tetap
berpikiran remaja yang punya visi untuk memperbaiki Bukittinggi untuk semua
generasi. Semua warga pun harus berjiwa remaja yang punya semangat menjadikan
Bukittinggi sebagai tempat nyaman hingga usia senja nanti.
No comments:
Post a Comment