Translate

Thursday, January 31, 2013

Banjir di Bukittinggi

Akhir pekan lalu menjadi contoh nyata, bahwasanya Bukittinggi tidak lagi elok sebagai kota wisata dan tidak pula nyaman bagi warganya. Mengutip antarasumbar.com, setidaknya ada sekitar 100 rumah yang terendam banjir. Dan, persoalan klasik itu selalu berulang setiap musim hujan datang. Persoalan banjir di Bukittinggi adalah cermin dari wajah pemerintah, wajah dari warga dan wajah-wajah orang yang hidup, tinggal atau bekerja di dalamnya.

Musim penghujan di Bukittinggi akhir-akhir ini ternyata mengandung cerita lain. Ketika hujan turun deras tiada hentinya, kota yang dulu disebut kota wisata itu berubah menjadi kota yang memprihatinkan.  Kota yang lokasinya tinggi itu justru terendam banjir di beberapa tempat, menyisakan wajah buruk rupa ketika hujan reda. Sementara bagi para korbannya, hujan lebat disertai banjir menimbulkan nelangsa yang sewaktu-waktu kembali tiba.

Menunjuk pemerintah dan pelaku kebijakan sebagai pihak yang bertanggung jawab adalah lumrah dan pantas. Merekalah yang sepatutnya mencarikan solusi dan jalan keluar dari masalah musiman itu. Sudah tahu menjadi masalah musiman, antisipasi konkrit dari persoalan itu kenapa tidak dicarikan? Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan yang berkesinambungan atau sustainable development yang tidak hanya sekedar memoles kota, tapi bisa bermanfaat untuk jangka panjang dan generasi berikutnya. Pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan dan melaksanakan tanpa tawaran tentang pengolahan sampah di berbagai tempat yang menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir.
Fakta di lapangan, perbaikan saluran air hanya sebatas peremajaan dan polesan. Kebijakan dilarang membuang sampah sembarangan tidak ada taring sama sekali. Bahkan saya juga tidak melihat adanya kebijakan pengolahan sampah yang revolusioner dari pemerintah. Seakan persoalan sampah bisa teratasi oleh Ngarai Sianok yang menjadi tempat pembuangan akhir. Seolah-olah kalau ngarai itu belum penuh, maka soal sampah bukan masalah.

Selain pemerintah, warga dan orang-orang yang bekerja atau sekedar datang ke Bukittinggi juga tidak luput dari dosa penyebab banjir. Tersumbatnya saluran-saluran air di pinggir jalan dan di bawah pasar adalah akibat perbuatan warga itu sendiri karena membuang sampah seenaknya. Di pasar-pasar misalnya, para pedagang tidak ada rasa bersalah membiarkan saja sampah basah, kering, kecil dan besar ke pinggir jalan. Sepertinya mereka berharap kotoran yang mereka buang hanyalah tanggung jawab anggota dinas kebersihan, bukan mereka pribadi.

Begitu pula dengan warga, anak-anak sekolah, anak kuliah dan banyak lagi macamnya orang-orang di Bukittinggi yang tidak ada rasa malu dan menyesal membuang sampah sembarangan. Sampah kecil dianggap akan musnah begitu saja di jalan atau di tanah, sampah besar dianggap akan hanyut begitu saja jika di buang ke kali dan selokan. Padahal, petaka akibat perbuatan yang tidak bertanggung jawab itu akan dirasakan juga belakangan, terutama saat musim hujan.

Bukittinggi itu butuh peremajaan. Peremajaan itu dalam arti yang sangat luas yakni meremajakan pikiran yang kolot dan meremajakan perilaku lama ke perilaku modern yang memikirkan kesejahteraan manusia di masa depan. Para pengambil kebijakan di pemerintah boleh berusia lansia tapi harus tetap berpikiran remaja yang punya visi untuk memperbaiki Bukittinggi untuk semua generasi. Semua warga pun harus berjiwa remaja yang punya semangat menjadikan Bukittinggi sebagai tempat nyaman hingga usia senja nanti.

No comments: