Translate

Thursday, January 24, 2013

Menghapus Budaya RSBI


“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ini menjadi peringatan keras bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) agar mengambil kebijakan yang sesuai dengan konstitusi dan tidak melanggar aspek pedagogis.” (kompas.com,2012).
Akhirnya kabar gembira itu datang juga ya. Status RSBI dibatalkan demi hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Saya sangat yakin bahwa ini menggembirakan banyak pihak namun tidak dipungkiri membuat kesal segelintir pihak lainnya. Apapun perasaan yang menyeruak, persoalan semacam ini patut dijadikan pelajaran bagi semua pihak. Tidak hanya buat Kemdikbud dan pembuat kebijakan, tapi juga kita masyarakat biasa yang sering menjadi penderita karena kebijakan yang salah.
Bagaimana tidak menderita, yang namanya kualitas sekolah itu kan tidak perlu dilabeli. Sekolah memang mutlak memberikan kualitas terbaik. Masalahnya, karena label masyarakat kita yang memang gila merek juga termakan dengan dagangan RSBI ini. Yang sial kan kita sendiri.

Bayangkan saja, untuk masuk RSBI konon orang tua siswa harus mengantongi uang puluhan kali lipat dari biaya pendidikan biasa. Artinya, hanya orang-orang kaya yang bisa masuk di kelas RSBI tersebut. Untuk masuk RSBI para siswa harus belajar ekstra keras dibanding mereka yang bukan di non RSBI. Mereka jadi terpaksa ambil kursus sana sini, ikut bimbingan belajar ini dan itu.

Dampak lebih jauh dari RSBI ini adalah makin menganganya jurang sosial di kalangan remaja atau generasi muda. Mereka yang bersekolah di RSBI akan merasa lebih hebat, lebih kaya (dengan asumsi bayar sekolah yang selangit itu), merasa lebih eksklusif dan segala macam lebih lainnya. Situasi itu makin diperparah dengan kurangnya mereka bergaul karena ditekan dengan tuntutan (yang katanya) standar internasional itu. Pikiran dan tenaga mereka habis di bangku sekolah.

Semestinya nih, orang tua juga harus cerdas menyikapi kondisi begini. Tapi memang sih, menjadi orang kaya saja belum jaminan menjadi ikut cerdas di negara ini. Masak anak dipaksa menghabiskan energi untuk belajar terus. Ironisnya, kalau nilai si anak, anak pula yang disalahkan. Mereka juga harus introspeksi diri apakah di masa sekolah dulu mereka selalu dapat ranking dan menjadi juara? Apakah mereka juga pintar pada seluruh mata pelajaran? Jangankan orang tua, guru saja hanya menguasai satu mata pelajaran saja. Tapi kenapa murid-murid justru dituntut menguasai seluruh materi yang diberikan?

Menghapus RSBI bagi saya sama halnya dengan menghapus budaya yang salah di negeri ini. Budaya yang peniru, latah, yang tidak mandiri. Padahal, tujuan sekolah adalah menjadikan generasi berpendidikan yang peka terhadap lingkungan dan kondisi kekinian, bukan generasi yang hanya pintar di atas kertas namun bebal dalam hal sosial.

No comments: