“Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ini menjadi peringatan keras bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) agar mengambil kebijakan yang sesuai dengan konstitusi dan tidak melanggar aspek pedagogis.” (kompas.com,2012).
Akhirnya kabar gembira itu datang juga ya. Status RSBI dibatalkan demi hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Saya sangat yakin bahwa ini menggembirakan banyak pihak namun tidak dipungkiri membuat kesal segelintir pihak lainnya. Apapun perasaan yang menyeruak, persoalan semacam ini patut dijadikan pelajaran bagi semua pihak. Tidak hanya buat Kemdikbud dan pembuat kebijakan, tapi juga kita masyarakat biasa yang sering menjadi penderita karena kebijakan yang salah.
Bagaimana tidak menderita, yang namanya
kualitas sekolah itu kan tidak perlu dilabeli. Sekolah memang mutlak
memberikan kualitas terbaik. Masalahnya, karena label masyarakat kita
yang memang gila merek juga termakan dengan dagangan RSBI ini. Yang sial
kan kita sendiri.
Bayangkan saja, untuk masuk RSBI konon orang tua
siswa harus mengantongi uang puluhan kali lipat dari biaya pendidikan
biasa. Artinya, hanya orang-orang kaya yang bisa masuk di kelas RSBI
tersebut. Untuk masuk RSBI para siswa harus belajar ekstra keras
dibanding mereka yang bukan di non RSBI. Mereka jadi terpaksa ambil
kursus sana sini, ikut bimbingan belajar ini dan itu.
Dampak lebih
jauh dari RSBI ini adalah makin menganganya jurang sosial di kalangan
remaja atau generasi muda. Mereka yang bersekolah di RSBI akan merasa
lebih hebat, lebih kaya (dengan asumsi bayar sekolah yang selangit itu),
merasa lebih eksklusif dan segala macam lebih lainnya. Situasi itu
makin diperparah dengan kurangnya mereka bergaul karena ditekan dengan
tuntutan (yang katanya) standar internasional itu. Pikiran dan tenaga
mereka habis di bangku sekolah.
Semestinya nih, orang tua juga harus
cerdas menyikapi kondisi begini. Tapi memang sih, menjadi orang kaya
saja belum jaminan menjadi ikut cerdas di negara ini. Masak anak dipaksa
menghabiskan energi untuk belajar terus. Ironisnya, kalau nilai si
anak, anak pula yang disalahkan. Mereka juga harus introspeksi diri
apakah di masa sekolah dulu mereka selalu dapat ranking dan menjadi
juara? Apakah mereka juga pintar pada seluruh mata pelajaran? Jangankan
orang tua, guru saja hanya menguasai satu mata pelajaran saja. Tapi
kenapa murid-murid justru dituntut menguasai seluruh materi yang
diberikan?
Menghapus RSBI bagi saya sama halnya dengan menghapus
budaya yang salah di negeri ini. Budaya yang peniru, latah, yang tidak
mandiri. Padahal, tujuan sekolah adalah menjadikan generasi
berpendidikan yang peka terhadap lingkungan dan kondisi kekinian, bukan
generasi yang hanya pintar di atas kertas namun bebal dalam hal sosial.
No comments:
Post a Comment