Translate

Monday, May 06, 2013

Ironi Pendidikan Nasional

Awal pekan lalu saya mengajak anak sulung saya melihat-lihat sekolah TK. Rencananya, tahun ini dia akan mulai masuk sekolah. Sebelumnya sih sudah pernah belajar di TK A, tapi karena dia tidak suka sekolah itu, akhirnya dia minta berhenti.

Di sekolah yang kami survey, sepertinya anak saya suka dengan tempat belajar baru itu. Kekhawatiran saya dia trauma belajar di sekolah hilang. Dia tampak antusias, dan tidak sabar menunggu tahun ajaran baru.

Namun kegembiraan saya melihat semangat belajarnya jadi terusik setelah melihat rincian biaya sekolah di sana. Total biaya pendidikan tahunan dan bulanannya dua kali lipat dari biaya sekolah sebelumnya. Menurut saya, biaya segitu sangat fantastis untuk biaya pendidikan anak TK.

Kembali dari sekolah disukai anak saya dan mahal itu membuat saya berfikir. Bukan soal saya batal memasukkannya ke sekolah itu karena biayanya tinggi, tapi lebih dari itu. Saya berfikir bahwa pendidikan yang bagus itu saat ini hanya untuk orang-orang beruang. Bagi yang tidak sanggup, silakan cari sekolah seadanya.

Pertengahan pekan ini kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Dikaitkan dengan pengalaman saya, ada perasaan miris melihat dunia pendidikan kita saat ini. Segudang persoalan masih menghantui industri otak bangsa ini. Ujian Nasional (UN) yang semestinya sebagai evaluasi belajar malah terkesan jadi lahan proyek. Ide Sekolah Bertaraf Internasional (sukur sudah dihapuskan), justru jadi lahan pengkotak-kotakan siswa berdasarkan latar belakang ekonomi. Sekolah swasta dengan promosi kualitas jadi tempat bagi orang kaya, sementara yang miskin cukup ke sekolah negeri yang kadang mutunya biasa-biasa saja.

Mendapatkan pendidikan dan jadi orang berpendidikan sebenarnya bukan soal kesenjangan tempat belajar saja. Sebagai dosen, saya lihat perilaku dan kemauan dalam diri pelajar atau mahasiswa juga berpengaruh. Mereka yang tidak diterima di PTN dan tidak sanggup kuliah di PTS bermutu umumnya berasal dari keluarga tidak mampu atau tidak pintar secara akademis. Mereka ini akan tercampak dan terpaksa masuk PTS yang tidak bermutu.

Parahnya, yang kuliah atau bersekolah di tempat rendah mutu tidak tahu diri pula. Belajar ogah-ogahan dan asal-asalan. Gaya selangit tapi prestasi belajar sedikit. Hasilnya setamat kuliah, perilaku, pola pikir dan kemampuan tidak jauh beda dengan anak SMA.

Sama seperti kondisi bangsa Indonesia dengan jurang sosial yang dalam, dunia pendidikan pun begitu. Pendidikan bagus dan bermutu hanya untuk mereka yang kaya saja. Akibatnya, yang kaya makin maju sementara yang miskin makin terpuruk saja.

No comments: