Pertengahan minggu depan kita akan meninggalkan
Ramadan. Idul Fitri sudah menanti kita. Setiap orang menyambut Idul
Fitri menyikapi dengan cara berbeda-beda. Ada yang meninggalkan Ramadan
dengan cara biasa-biasa saja, cara sederhana, tapi tidak sedikit yang
menyambut dengan gaya foya-foya.
Tidak ada salahnya kita
menyambut lebaran dengan gembira ria. Namun bukan berarti kita harus
menyikapi lebaran dengan gaya bermewah-mewahan. Karena bagaimanapun,
Idul Fitri bukan ajang penampilan baru, pamer pakaian baru atau sajian
kue di atas meja.
Tidak dipungkiri seluruh umat Islam senang
merayakan Idul Fitri. Namun substansi kesenangan kita seharusnya bukan
karena gaya hidup duniawi saja. Perayaan lebaran semestinya justru
menjadi tolak ukur bagi kita umat muslim, sejauh mana Ramadan telah
berhasil membentuk pribadi baru. Pribadi yang tawakal.
Gaya hidup
yang lebih memikirkan duniawi di kalangan masyarakat kita sudah cukup
memprihatinkan. Apalagi gaya hidup itu dikait-kaitkan dengan ritual
keagamaan. Kita seakan menjadikan praktik beragama sebagai tolok ukur
gaya hidup.
Jangankan dalam menyambut lebaran. Saat Ramadan saja
sudah seperti itu. Banyak yang lapar mata dan kerasukan menjelang
berbuka. Masak atau beli ini dan itu hingga pengeluaran justru
membengkak selama puasa. Padahal, substansi Ramadan itu adalah
mengajarkan manusia untuk hidup sederhana.
Maka akan sangat
ironis sekali gaya hidup yang duniawi juga diterapkan menyambut Idul
Fitri. Sah-sah saja berbaju baru dan berkue aneka rasa. Namun jika tidak
ada, bukan berarti harus dipaksa. Bagi yang berada, sebaiknya juga
tidak perlu pamer gaya. Inti dari Idul Fitri itu hanya pribadi sendiri
yang rasakan. Sepanjang sudah menjadi pribadi yang baik, itu artinya
berhasil selama Ramadan. Kalau pribadi dan perilaku masih begitu-begitu
saja, pakaian dan segala yang baru tidaklah akan memberi makna.
Bagaimanapun lebaran bukan polesan.
No comments:
Post a Comment