Translate

Monday, May 28, 2012

Bodoh karena Tontonan


Sebuah hasil survey yang dilakukan oleh lembaga Nielsen beberapa waktu lalu tentang angka penikmat sinetron cukup mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan. Seperti dilansir oleh beberapa media, terjadi lonjakan yang cukup signifikan terhadap penonton sinetron.
Menurut catatan Nielsen, terjadi peningkatan jumlah penonton sinetron hingga 51 persen dari rata-rata 969 ribu orang pada kuartal pertama 2010 menjadi 1,4 juta orang pada periode yang sama tahun 2011. Survei yang dilakukan Nielsen pada populasi televisi yang terdiri atas 49,5 juta individu usia di atas lima tahun pemirsa di sepuluh kota besar juga menunjukkan kenaikan waktu menonton sinetron. Pada kuartal pertama tahun 2010 waktu menonton serial sinetron total 42 jam, meningkat menjadi 64 jam pada periode yang sama tahun 2011.
Data itu mencengangkan karena lonjakan yang signifikan. Mengkhawatirkan karena mengingat kualitas tayangan rata-rata sinetron yang sangat rendah. Cenderung tidak mendidik, memperbodoh  dan malah kemungkinan akan menjadi ajaran yang justru menjerumuskan pemirsanya.
Setiap kali mencoba ganti-ganti saluran dari salah satu TV ke TV yang punya tayangan utama sinetron, kritikan akan langsung terlontar dari mulut saya. “Loh, bukannya anak ini sudah mati? Kok hidup lagi?”, atau “What? Sakit amnesia lagi? Gagal ginjal lagi? Operasi pengangkatan wajah lagi? Bukankah cerita-cerita seperti  ini juga sudah pernah sebelumnya?”
Selain ketololan jalur cerita kadang saya juga harus mengurut dada dengan adegan demi adegan yang menanamkan kebencian, iri, hingga tindak kekerasan. Setiap kali coba ganti channel, ada satu sinetron yang selalu kebetulan ada adegan tindak kekerasan. Kalau tidak ancaman, perang mulut, pastinya penculikan dan pukul-pukulan.
Nah, bagaimana tidak khawatir menyaksikan tontonan yang tidak ada unsure pendidikannya sama sekali itu. Tidak ada nilai moral dalam setiap tayangan. Bahkan lucunya, si baik tidak selalu menang dalam sinetron. Si baik bisa saja selalu sial, menangis dan selalu dirundung malang.
Seorang teman pernah mempostingkan catatan singkat di facebook-nya bahwasanya dia  marah pada anaknya yang masih balita. Si anak melawan dan menepuk kepala bapaknya karena sang Bapak mengganti tayangan sinetron ke tayangan sepak bola. Akibatnya si Bapak manggok tidak mau menegur anaknya hingga keesokan harinya. Tanpa bermaksud langsung menuduh si anak meniru apa yang dia tonton dari sinetron terhadap Bapaknya, tapi paling tidak, ternyata untuk anak Balita saja sinetron ternyata memiliki daya candu sedemikian rupa.
Dan ketika sinetron di konsumsi kalangan remaja, maka sebuah ironi kadang bisa terjadi. Selain berpotensi meniru kebusukan dalam sinetron, pengidolaan terhadap bintang-bintang sintron akan menjadikan hidup tidak kalah bodohnya. Mereka akan berlomba-lomba menaikkan gengsi dengan kelengkapan materi, mencoba meniru gaya hidup para selebriti yang ditonton setiap hari.
Tidak bijak kalau menyalahkan televisi, para produser sinetron dan artis yang memerankan segala kebodohan dan ketololan itu. Sinetron adalah ladang mereka mencari rejeki. Cuma pada diri kita sendiri semestinya untuk bisa menyeleksi; terus menerus menyaksikan tontonan yang mebodohkan atau beralih ke tayangan atau kegiatan yang mencerdaskan?

No comments: