Sebuah hasil survey yang dilakukan oleh lembaga
Nielsen beberapa waktu lalu tentang angka penikmat sinetron cukup mencengangkan
sekaligus mengkhawatirkan. Seperti dilansir oleh beberapa media, terjadi
lonjakan yang cukup signifikan terhadap penonton sinetron.
Menurut catatan Nielsen, terjadi peningkatan
jumlah penonton sinetron hingga 51 persen dari rata-rata 969 ribu orang pada
kuartal pertama 2010 menjadi 1,4 juta orang pada periode yang sama tahun 2011. Survei
yang dilakukan Nielsen pada populasi televisi yang terdiri atas 49,5 juta
individu usia di atas lima tahun pemirsa di sepuluh kota besar juga menunjukkan
kenaikan waktu menonton sinetron. Pada kuartal pertama tahun 2010 waktu
menonton serial sinetron total 42 jam, meningkat menjadi 64 jam pada periode
yang sama tahun 2011.
Data itu mencengangkan karena lonjakan yang
signifikan. Mengkhawatirkan karena mengingat kualitas tayangan rata-rata
sinetron yang sangat rendah. Cenderung tidak mendidik, memperbodoh dan malah kemungkinan akan menjadi ajaran
yang justru menjerumuskan pemirsanya.
Setiap kali mencoba ganti-ganti saluran dari
salah satu TV ke TV yang punya tayangan utama sinetron, kritikan akan langsung
terlontar dari mulut saya. “Loh, bukannya anak ini sudah mati? Kok hidup
lagi?”, atau “What? Sakit amnesia lagi? Gagal ginjal lagi? Operasi pengangkatan
wajah lagi? Bukankah cerita-cerita seperti
ini juga sudah pernah sebelumnya?”
Selain ketololan jalur cerita kadang saya juga
harus mengurut dada dengan adegan demi adegan yang menanamkan kebencian, iri,
hingga tindak kekerasan. Setiap kali coba ganti channel, ada satu sinetron yang
selalu kebetulan ada adegan tindak kekerasan. Kalau tidak ancaman, perang
mulut, pastinya penculikan dan pukul-pukulan.
Nah, bagaimana tidak khawatir menyaksikan
tontonan yang tidak ada unsure pendidikannya sama sekali itu. Tidak ada nilai
moral dalam setiap tayangan. Bahkan lucunya, si baik tidak selalu menang dalam
sinetron. Si baik bisa saja selalu sial, menangis dan selalu dirundung malang.
Seorang teman pernah mempostingkan catatan
singkat di facebook-nya bahwasanya dia
marah pada anaknya yang masih balita. Si anak melawan dan menepuk kepala
bapaknya karena sang Bapak mengganti tayangan sinetron ke tayangan sepak bola.
Akibatnya si Bapak manggok tidak mau menegur anaknya hingga keesokan harinya.
Tanpa bermaksud langsung menuduh si anak meniru apa yang dia tonton dari
sinetron terhadap Bapaknya, tapi paling tidak, ternyata untuk anak Balita saja
sinetron ternyata memiliki daya candu sedemikian rupa.
Dan ketika sinetron di konsumsi kalangan
remaja, maka sebuah ironi kadang bisa terjadi. Selain berpotensi meniru
kebusukan dalam sinetron, pengidolaan terhadap bintang-bintang sintron akan
menjadikan hidup tidak kalah bodohnya. Mereka akan berlomba-lomba menaikkan
gengsi dengan kelengkapan materi, mencoba meniru gaya hidup para selebriti yang
ditonton setiap hari.
Tidak bijak kalau menyalahkan televisi, para
produser sinetron dan artis yang memerankan segala kebodohan dan ketololan itu.
Sinetron adalah ladang mereka mencari rejeki. Cuma pada diri kita sendiri
semestinya untuk bisa menyeleksi; terus menerus menyaksikan tontonan yang
mebodohkan atau beralih ke tayangan atau kegiatan yang mencerdaskan?
No comments:
Post a Comment