Translate

Monday, May 28, 2012

The Silence of the Dumba



Dalam perjalanan profesional saya, saya punya satu pengalaman menarik. Pada suatu waktu, seorang staf dari konsultan multinasional mengirim sebuah pesan singkat ke saya, menanyakan kegiatan dan ketersediaan saya. Setelah berbalas SMS, si dia secara implisit mengatakan ada kemungkinan akan merekrut saya untuk satu posisi di sana. Dengan perasaan berbunga, saya pegang kata-kata itu.
Dua pekan berlalu, saya tanyakan lagi kemungkinan itu. Jawabannya masih sama dengan nada positif kalau saya akan dihubungi. Minggu berganti dan hitungan bulan pun terlewati. Saya pun harus mengambil sikap. Saya tidak mau digantung sehingga melewatkan berbagai kesempatan lain yang ada di luar sana. Maka, saya pun mengirimkan email secara resmi menanyakan perihal SMS yang dikirimkan ke saya dan menyatakan kalau saya semestinya diberi jawaban. Hasilnya, balasan dari si pengirim pesan tidak pernah saya dapatkan. Si dia hanya diam memendam jawaban yang hanya dia dan perusahan itu saja yang tahu. Menggantung saya dan membiarkan bunga di hati saya menguncup dengan sendirinya.
Dalam perjalanan hidup, begitu banyak persoalan yang disikapi dengan diam. Tidak hanya dalam tataran dunia kerja yang tidak profesional seperti kasus saya; yang barangkali juga dialami orang lain, tapi dalam keseharian. Ada gadis tetangga yang jatuh cinta sedang menunggu kepastian cinta dari cowoknya. Ada janji bayar hutang yang sudah jatuh tempo namun didiamkan saja, menunggu hingga ada uang dan membayarnya belakangan. Ada dusta putih antara dua sahabat yang didiamkan begitu berharap suatu saat akan ternetaralisasi seiring berjalannya waktu. Ada juga perselisihan ringan dengan mama atau papa yang tidak berujung kata maaf namun berharap akan usai begitu saja di meja makan. Begitu banyak perilaku diam yang tidak pada tempatnya yang sering kita lakukan.
Banyak orang yang menjadikan diam karena pada dasarnya ingin lari dari kenyataan dan cari aman. Atau mungkin suatu bentuk kepengecutan. Menggantung perasaan pacar dengan harapan bisa mengencani gadis lain. Tidak membayar hutang pada waktunya tanpa penjelasan karena mendahulukan kepentingan pribadi. Menganggap perasaan orang tua selapang samudera sehingga maaf tak mesti diucapkan. Serta berbagai alasan lainnya yang ingin menyelamatkan diri tanpa menyadari kalau sebenarnya tindakan dan perbuatan apa yang dimulai itu belum sepenuhnya berakhir.
Kita terlalu menjeneralisasi perumpamaan; silence is golden atau diam itu emas. Entah mengapa masyarakat kita begitu membudayakan diam itu emas. Sudah banyak bukti yang membuat kita menjadi terbelakang karena diam. Budaya diam telah membuat kita menjadi pribadi yang tidak berani dan mampu menghadapi persoalan secara ksatria. Bangsa ini tidak maju-maju juga karena terlalu sering bungkam seribu bahasa terhadap segala problematika yang ada, entah itu di tataran bermasyarakat dan bernegara hingga di kancah dunia.
Tidak semua persoalan bisa selesai dengan menutup bibir rapat-rapat. Ada persoalan yang bisa tuntas dengan penjelasan, dibicarakan dan diterangkan. Ada perbuatan yang menjadi lebih bermakna jika disertai dengan kata-kata. Diam akan menjadi emas jika bicara hanya akan menimbulkan masalah dan musibah. Namun diam bukan pada tempatnya hanya menunjukkan pribadi yang tidak acuh dan bodoh alias the silence of the dumb.

No comments: