Dalam perjalanan profesional saya, saya punya
satu pengalaman menarik. Pada suatu waktu, seorang staf dari konsultan
multinasional mengirim sebuah pesan singkat ke saya, menanyakan kegiatan dan
ketersediaan saya. Setelah berbalas SMS, si dia secara implisit mengatakan ada
kemungkinan akan merekrut saya untuk satu posisi di sana. Dengan perasaan
berbunga, saya pegang kata-kata itu.
Dua pekan berlalu, saya tanyakan lagi
kemungkinan itu. Jawabannya masih sama dengan nada positif kalau saya akan
dihubungi. Minggu berganti dan hitungan bulan pun terlewati. Saya pun harus
mengambil sikap. Saya tidak mau digantung sehingga melewatkan berbagai
kesempatan lain yang ada di luar sana. Maka, saya pun mengirimkan email secara
resmi menanyakan perihal SMS yang dikirimkan ke saya dan menyatakan kalau saya
semestinya diberi jawaban. Hasilnya, balasan dari si pengirim pesan tidak
pernah saya dapatkan. Si dia hanya diam memendam jawaban yang hanya dia dan
perusahan itu saja yang tahu. Menggantung saya dan membiarkan bunga di hati
saya menguncup dengan sendirinya.
Dalam perjalanan hidup, begitu banyak persoalan
yang disikapi dengan diam. Tidak hanya dalam tataran dunia kerja yang tidak
profesional seperti kasus saya; yang barangkali juga dialami orang lain, tapi
dalam keseharian. Ada gadis tetangga yang jatuh cinta sedang menunggu kepastian
cinta dari cowoknya. Ada janji bayar hutang yang sudah jatuh tempo namun
didiamkan saja, menunggu hingga ada uang dan membayarnya belakangan. Ada dusta
putih antara dua sahabat yang didiamkan begitu berharap suatu saat akan
ternetaralisasi seiring berjalannya waktu. Ada juga perselisihan ringan dengan
mama atau papa yang tidak berujung kata maaf namun berharap akan usai begitu
saja di meja makan. Begitu banyak perilaku diam yang tidak pada tempatnya yang
sering kita lakukan.
Banyak orang yang menjadikan diam karena pada
dasarnya ingin lari dari kenyataan dan cari aman. Atau mungkin suatu bentuk
kepengecutan. Menggantung perasaan pacar dengan harapan bisa mengencani gadis
lain. Tidak membayar hutang pada waktunya tanpa penjelasan karena mendahulukan
kepentingan pribadi. Menganggap perasaan orang tua selapang samudera sehingga
maaf tak mesti diucapkan. Serta berbagai alasan lainnya yang ingin
menyelamatkan diri tanpa menyadari kalau sebenarnya tindakan dan perbuatan apa
yang dimulai itu belum sepenuhnya berakhir.
Kita terlalu menjeneralisasi perumpamaan; silence is golden atau diam itu emas.
Entah mengapa masyarakat kita begitu membudayakan diam itu emas. Sudah banyak
bukti yang membuat kita menjadi terbelakang karena diam. Budaya diam telah
membuat kita menjadi pribadi yang tidak berani dan mampu menghadapi persoalan
secara ksatria. Bangsa ini tidak maju-maju juga karena terlalu sering bungkam
seribu bahasa terhadap segala problematika yang ada, entah itu di tataran
bermasyarakat dan bernegara hingga di kancah dunia.
Tidak semua persoalan bisa selesai dengan
menutup bibir rapat-rapat. Ada persoalan yang bisa tuntas dengan penjelasan,
dibicarakan dan diterangkan. Ada perbuatan yang menjadi lebih bermakna jika
disertai dengan kata-kata. Diam akan menjadi emas jika bicara hanya akan
menimbulkan masalah dan musibah. Namun diam bukan pada tempatnya hanya
menunjukkan pribadi yang tidak acuh dan bodoh alias the silence of the dumb.
No comments:
Post a Comment