Dan betapa
tersinggungnya Afgan, penyanyi yang sedang di atas popularitas itu, ketika
disamakan dengan Malin Kundang karena persoalan pindah manajemen. Afgan tidak
terima kasusnya dianalogikan dengan legenda anak durhaka itu karena ia tahu jelas
kisah si Malin Kundang dan substansi dari cerita itu sendiri.
Malin
Kundang adalah anak yang dibesarkan oleh seorang ibu single parent yang tua dan
renta. Dengan kasih sayang dan cintanya, ia besarkan si anak. Ia curahkan
segala kemampuannya dan memaksakan organ-organ motorik tuanya itu untuk
manggadangkan si Malin, hingga masanya ia tumbuh dewasa dan memiliki
sayap-sayap yang bisa ia kepakkan menuju negeri rantau di seberang lautan sana.
Saat si Malin berhasil di perantauan dan pulang kampung membanggakan
kekayaannya, si Ibu yang makin jompo dimakan usia justru dihinda dan dicerca. Atas
segala penghinaan dan penistaan yang dilakukan anaknya itu, si Ibu pun mengutuk
si Malin hingga ia pun berubah jadi batu.
Substansi
dari cerita itu tidak hanya terletak pada hubungan domestik antara ibu dan
anak. Sama halnya dengan analogi kasus Afgan di paragraf pertama, kisah si
Malin Kundang adalah kisah tentang kedurhakaan, pengingkaran atas jasa dan budi
baik seseorang. Maka, membandingkan kisah si Malin Kundang dengan fakta yang
berlaku dalam hubungan sosial, betapa banyaknya si Malin Kundang yang kita
temui di luar sana.
Dalam
lingkup keluarga saja misalnya. Betapa banyak remaja yang tidak segan-segan
membangkang pada orang tuanya. Bersikeras karena soal membeli gadget yang tak
terjangkau saku orang tua; bersitegang karena tidak mendapat restu pacaran;
berdusta minta tambahan uang saku demi membeli sesuatu yang hanya untuk
menaikkan gengsi; atau tidak segan-segan mengumpat dan meneriaki orang tua
hanya karena persoalan sepele yang tidak ada artinya disbanding besarnya cinta
orang tua.
Memasuki
dunia yang lebih besar dari itu, betapa banyak teman yang makan teman.
Pertemanan hanya sebatas bisa menerima bukan saling memberi. Kawan lantas
berubah menjadi lawan ketika salah satunya berkhianat; merebut pacara teman,
mengcopy paste tugas kuliah,
menjatuhkan teman demi nilai atau kedudukan di organisasi kampus. Padahal,
sejatinya teman adalah tempat saling berbagi. Namun ketika teman tidak bisa lagi memberi, maka
semua kebaikan yang pernah diterima sirna seketika.
Contoh
kemalin kundangan makin meluas ketika kita bicara dalam tatanan hubungan
bermasyarakat, dunia kerja, hingga politik. Banyak orang gampang bersinggungan
dan berseteru serta lantas melupakan segala kebaikan yang pernah mereka terima
satu sama lain. Bukankah sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup
sendiri yang artinya, sekecil apapun kontribusi orang lain terhadap diri
pribadi adalah tetap sebuah kontribusi. Dan itu tidak bisa dipungkiri.
Maka sekali
lagi, kalau kita bercerita kembali tentang legenda si Malin Kundang dan
membandingkannya dengan realita yang ada, sudah semestinya kita mengurut dada.
Dan kalaulah setiap orang diberi tuah terhadap setiap kutukannya, tentulah akan
banyak batu berupa manusia yang akan kita jumpai di luar sana.
No comments:
Post a Comment