Translate

Monday, May 28, 2012

Malin Kundang


Dan betapa tersinggungnya Afgan, penyanyi yang sedang di atas popularitas itu, ketika disamakan dengan Malin Kundang karena persoalan pindah manajemen. Afgan tidak terima kasusnya dianalogikan dengan legenda anak durhaka itu karena ia tahu jelas kisah si Malin Kundang dan substansi dari cerita itu sendiri.
Malin Kundang adalah anak yang dibesarkan oleh seorang ibu single parent yang tua dan renta. Dengan kasih sayang dan cintanya, ia besarkan si anak. Ia curahkan segala kemampuannya dan memaksakan organ-organ motorik tuanya itu untuk manggadangkan si Malin, hingga masanya ia tumbuh dewasa dan memiliki sayap-sayap yang bisa ia kepakkan menuju negeri rantau di seberang lautan sana. Saat si Malin berhasil di perantauan dan pulang kampung membanggakan kekayaannya, si Ibu yang makin jompo dimakan usia justru dihinda dan dicerca. Atas segala penghinaan dan penistaan yang dilakukan anaknya itu, si Ibu pun mengutuk si Malin hingga ia pun berubah jadi batu.
Substansi dari cerita itu tidak hanya terletak pada hubungan domestik antara ibu dan anak. Sama halnya dengan analogi kasus Afgan di paragraf pertama, kisah si Malin Kundang adalah kisah tentang kedurhakaan, pengingkaran atas jasa dan budi baik seseorang. Maka, membandingkan kisah si Malin Kundang dengan fakta yang berlaku dalam hubungan sosial, betapa banyaknya si Malin Kundang yang kita temui di luar sana.
Dalam lingkup keluarga saja misalnya. Betapa banyak remaja yang tidak segan-segan membangkang pada orang tuanya. Bersikeras karena soal membeli gadget yang tak terjangkau saku orang tua; bersitegang karena tidak mendapat restu pacaran; berdusta minta tambahan uang saku demi membeli sesuatu yang hanya untuk menaikkan gengsi; atau tidak segan-segan mengumpat dan meneriaki orang tua hanya karena persoalan sepele yang tidak ada artinya disbanding besarnya cinta orang tua.
Memasuki dunia yang lebih besar dari itu, betapa banyak teman yang makan teman. Pertemanan hanya sebatas bisa menerima bukan saling memberi. Kawan lantas berubah menjadi lawan ketika salah satunya berkhianat; merebut pacara teman, mengcopy paste tugas kuliah, menjatuhkan teman demi nilai atau kedudukan di organisasi kampus. Padahal, sejatinya teman adalah tempat saling berbagi. Namun  ketika teman tidak bisa lagi memberi, maka semua kebaikan yang pernah diterima sirna seketika.
Contoh kemalin kundangan makin meluas ketika kita bicara dalam tatanan hubungan bermasyarakat, dunia kerja, hingga politik. Banyak orang gampang bersinggungan dan berseteru serta lantas melupakan segala kebaikan yang pernah mereka terima satu sama lain. Bukankah sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri yang artinya, sekecil apapun kontribusi orang lain terhadap diri pribadi adalah tetap sebuah kontribusi. Dan itu tidak bisa dipungkiri.
Maka sekali lagi, kalau kita bercerita kembali tentang legenda si Malin Kundang dan membandingkannya dengan realita yang ada, sudah semestinya kita mengurut dada. Dan kalaulah setiap orang diberi tuah terhadap setiap kutukannya, tentulah akan banyak batu berupa manusia yang akan kita jumpai di luar sana.

No comments: