Translate

Thursday, September 20, 2012

Arogansi Berujung Maut

Siapapun di penjuru Indonesia yang menyaksikan berita tabrakan maut di akhir pekan lalu pasti akan merasa miris. Sedemikian gampangnya nyawa melayang karena ulah wanita yang sebelumnya berpesta shabu dan minuman keras. Broadcast dan cerita tentang tragedy itu terus bergulir, bahkan gerakan meminta hukuman mati bagi Afriani si sopir Xenia maut bermunculan di jejaring sosial.

Seperti diketahui, Ahad, 22 Januari 2012, mobil Daihatsu Xenia yang disopiri Afriani melaju kencang dan menghantam belasan pejalan kaki di trotoar dan halte di Jalan M.I. Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat. Akibatnya, sembilan orang tewas dan empat terluka. Kebanyakan korban adalah mereka yang baru pulang berolahraga di Monas. Konon, di dalamnya, Afriani dan ketiga temannya di bawah pengaruh shabu-shabu.
Terlepas dari kondisinya yang berada di bawah pengaruh narkotika, toh tidak dapat dipungkiri perilaku semacam perempuan gempal itu banyak dijumpai di jalanan. Perilaku kalangan hedonis yang sombong dan ujung-ujungnya merugikan orang lain. Sayangnya, perilaku itu banyak ditunjukkan oleh kalangan berada, yang semestinya akal dan pikiran mereka dicukupi dengan pendidikan.

Kalau masih mau menyangkal, lihatlah di jalanan. Mereka yang berkendaraan (dan pastinya bisa dikatakan kalangan menengah ke atas) sering merasa menjadi raja di jalanan. Ngebut, memaki pejalan kaki dengan raungan klakson, membuang sisa dan bungkus makanan lewat jendela mobilnya. Perilaku itu pun menular di kalangan menengah yang hanya punya motor. Ngebut-ngebutan tidak mau kalah dengan pemilik kendaraan roda empat, tidak ada polisi lampu merah diterobos, sengaja mengencangkan bunyi mesin meniru gaya pembalap profesional, dan masih banyak lagi polah yang menunjukkan arogansi pemilik kendaraan. Suatu rasa yang tidak hanya akan merugikan orang lain, tapi juga akan mencelakai diri pelakunya.

Bolehlah si Afriani dikatakan keliru membedakan antara rem dan gas karena pengaruh shabu yang dikonsumsinya. Tapi bukan sebuah kerendahan hati namanya mensyukuri nikmat yang ia peroleh dengan berpesta haram seperti itu. Jelas itu adalah salah satu bentuk arogansi, terutama pada Penciptanya.
Kesombongan berujung maut tidak hanya berlaku di jalan raya saja. Sayangnya, di tengah kondisi bangsa dengan para pemimpin dan wakil rakyat yang tidak bisa dijadikan panutan ini, arogansi semakin menjadi-jadi. Dan ini pula yang menulari generasi mudanya. Lihatlah betapa sifat konsumtif menjadi-jadi, seolah penampilan dan pelekatan materi suatu kompetisi. Punya gadget baru saja sudah merasa naik gengsi, sehingga orang lain dianggap tidak ada apa-apanya.

Karena sifat arogan pula tidak jarang remaja jadi lupa diri. Merasa umur akan selalu muda, merasa hidup akan selamanya ada, sehingga lupa waktu untuk memberi makna. Ketika kecewa pada fakta yang tidak selamanya manis, tidak jarang remaja mencari kompensasi berbau negatif. Mungkin berkompromi dengan narkotika seperti halnya Afriani, atau justru yang lebih buruk dari itu yang mungkin akan mendekatkan diri dengan maut.

Sungguh, tidak ada yang lebih baik daripada berendah hati saja, sehingga bisa melihat dunia dengan lebih bermakna.

No comments: