Sekitar lima tahun silam, saya pernah menuliskan sebuah artikel berjudul
“Ciuman yang Makin Terbiasa”. Hingga saat ini, tulisan yang juga pernah
terbit di Singgalang Minggu pada masa itu dan dipostingin di blog
pribadi saya masih mendapat kunjungan yang luar biasa.
Tulisan
tersebut intinya mengkritik tontonan yang menyajikan adegan ciuman di
ranah hiburan. Kalau dulu, ciuman bukan muhrim dianggap zina, sekarang
justru malah diumbar dan dipertontonkan. Penayangan adegan tersebut di
ranah publik lewat media film dan sinetron jadi pemicu perilaku tabu itu
juga makin diterima dan diangga biasa kalangan masyarakat. Alhasil,
sekarang sudah biasa di mata ini melihat laki dan perempuan jalan
bergandengan atau malah kecup sana sini di ruang terbuka.
Sama
halnya dengan peristiwa ciuman itu, kekerasan juga makin terbiasa
ditampilkan di ranah public. Baru-baru ini, lewat blackberry messenger,
saya menerima dua foto mengenaskan menampakkan korban kecelakaan. Tidak
perlu pulalah menerangkan seperti apa foto itu. Yang jelas unsur
sadistis dan mengerikan terpenuhi, sehingga melihat gambar elektronik
itu hanya membuat bulu kuduk berdiri dan kengerian menghinggapi seluruh
panca indra saya.
Entah apa yang ada dalam benak si pengirim gambar
itu. Kalaulah dia bagak melihat darah dan luka-luka, bukan berarti orang
lain juga punya keberanian yang sama dengan dirinya. Lagipula, bukankah
dengan menyebar luaskan gambar-gambar sadis dan brutal seperti itu juga
akan membuat hal yang dianggal mengerikan dan menyedihkan menjadi
biasa. Apalah jadinya jika masyarakat kita sudah terbiasa dengan hal-hal
yang vulgar semacam itu. Jangankan terbiasa melihat darah dan sayatan
tubuh, masyarakat kita saja sekarang sudah cenderung anarkis dan kadang
bersikap sadis. Bisa dibayangkan, jika frekuensi melihat tubuh
berdarah-darah itu makin sering, kita akan menganggap wajar saja jika
melihat seseorang terkena kecelakaan. Kita jadi bebal.
Di sisi lain,
penayangan gambar-gambar yang sadis yang menimbulkan ketakutan juga
akan menimbulkan trama psikologis. Tidak hanya bagi keluarga korba, juga
bagi orang yang barangkali pernah punya pengalaman serupa. Akibatnya,
informasi semacam itu hanya akan menimbulkan kepanikan dan ketakutan
yang menghantui.
Sekedar pembanding, dulu tayangan adegan gulat
bebas internasional yang sempat populer dihentikan penayangannya karena
memicu penonton (terutama anak-anak) ikut meniru. Artinya, peniruan
tersebut terjadi karena melakukan adegan yang sama dianggap biasa oleh
penontonnya. Apalagi saat ini televisi pun acap menampilkan
gambar-gambar sadis hasil berita kriminal.
Peneliti di luar sudah
menyimpulkan ada korelasi – untuk tidak menyebut penyebab – antara
tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sadistis bisa kita masukkan
dalam kategori kekerasan. Christian Science Monitor (CSM) meneliti tahun
1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 – 17 tahun.
Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56%
responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5%
cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi. Sementara penelitan
lanjutan, pengaruh tersebut cenderung pada tindak kekerasan.
Yah,
bolehlah kita mengait-ngaitkan hal ini dengan banyaknya kejadian sadis
di kalangan masyarakat. Siswi yang baku hantam di pinggir jalan, aksi
geng motor, bullying yang sampai ke tindak fisik dan banyak lagi kasus
lainnya yang di luar perkiraan kita dulu. Kalau kita sudah terbiasa
melihat darah, bukankah nantinya menganggap hal yang wajar pula melihat
korban kecelakaan atau kekerasan mengalami kejadian tragis yang
semestinya diempathi.
So, mulai sekarang, mending berfikir dulu deh
kalau mau ngirim-ngirim atau postingin gambar dan foto. Bukannya jadi
info, justru bikin kita jadi bodo.
No comments:
Post a Comment