Translate

Thursday, September 20, 2012

Sadistis yang Makin Terbiasa

Sekitar lima tahun silam, saya pernah menuliskan sebuah artikel berjudul “Ciuman yang Makin Terbiasa”. Hingga saat ini, tulisan yang juga pernah terbit di Singgalang Minggu pada masa itu dan dipostingin di blog pribadi saya masih mendapat kunjungan yang luar biasa.

Tulisan tersebut intinya mengkritik tontonan yang menyajikan adegan ciuman di ranah hiburan. Kalau dulu, ciuman bukan muhrim dianggap zina, sekarang justru malah diumbar dan dipertontonkan. Penayangan adegan tersebut di ranah publik lewat media film dan sinetron jadi pemicu perilaku tabu itu juga makin diterima dan diangga biasa kalangan masyarakat. Alhasil, sekarang sudah biasa di mata ini melihat laki dan perempuan jalan bergandengan atau malah kecup sana sini di ruang terbuka.


Sama halnya dengan peristiwa ciuman itu, kekerasan juga makin terbiasa ditampilkan di ranah public. Baru-baru ini, lewat blackberry messenger, saya menerima dua foto mengenaskan menampakkan korban kecelakaan. Tidak perlu pulalah menerangkan seperti apa foto itu. Yang jelas unsur sadistis dan mengerikan terpenuhi, sehingga melihat gambar elektronik itu hanya membuat bulu kuduk berdiri dan kengerian menghinggapi seluruh panca indra saya.

Entah apa yang ada dalam benak si pengirim gambar itu. Kalaulah dia bagak melihat darah dan luka-luka, bukan berarti orang lain juga punya keberanian yang sama dengan dirinya. Lagipula, bukankah dengan menyebar luaskan gambar-gambar sadis dan brutal seperti itu juga akan membuat hal yang dianggal mengerikan dan menyedihkan menjadi biasa. Apalah jadinya jika masyarakat kita sudah terbiasa dengan hal-hal yang vulgar semacam itu. Jangankan terbiasa melihat darah dan sayatan tubuh, masyarakat kita saja sekarang sudah cenderung anarkis dan kadang bersikap sadis. Bisa dibayangkan, jika frekuensi melihat tubuh berdarah-darah itu makin sering, kita akan menganggap wajar saja jika melihat seseorang terkena kecelakaan. Kita jadi bebal.

Di sisi lain, penayangan gambar-gambar yang sadis yang menimbulkan ketakutan juga akan menimbulkan trama psikologis. Tidak hanya bagi keluarga korba, juga bagi orang yang barangkali pernah punya pengalaman serupa. Akibatnya, informasi semacam itu hanya akan menimbulkan kepanikan dan ketakutan yang menghantui.

Sekedar pembanding, dulu tayangan adegan gulat bebas internasional yang sempat populer dihentikan penayangannya karena memicu penonton (terutama anak-anak) ikut meniru. Artinya, peniruan tersebut terjadi karena melakukan adegan yang sama dianggap biasa oleh penontonnya. Apalagi saat ini televisi pun acap menampilkan gambar-gambar sadis hasil berita kriminal.

Peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi – untuk tidak menyebut penyebab – antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sadistis bisa kita masukkan dalam kategori kekerasan. Christian Science Monitor (CSM) meneliti tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 – 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi. Sementara penelitan lanjutan, pengaruh tersebut cenderung pada tindak kekerasan.

Yah, bolehlah kita mengait-ngaitkan hal ini dengan banyaknya kejadian sadis di kalangan masyarakat. Siswi yang baku hantam di pinggir jalan, aksi geng motor, bullying yang sampai ke tindak fisik dan banyak lagi kasus lainnya yang di luar perkiraan kita dulu. Kalau kita sudah terbiasa melihat darah, bukankah nantinya menganggap hal yang wajar pula melihat korban kecelakaan atau kekerasan mengalami kejadian tragis yang semestinya diempathi.

So, mulai sekarang, mending berfikir dulu deh kalau mau ngirim-ngirim atau postingin gambar dan foto. Bukannya jadi info, justru bikin kita jadi bodo.

No comments: