Translate

Monday, October 29, 2012

Salah Kaprah Gaya Barat


Sungguh geleng-geleng kepala lihat gaya anak mahasiswa sekarang (ini mahasiswa yang saya ajar). Lagak ke kampus sudah ibarat artis saja. Dandanan menor dengan make up yang membuat mata iritasi. Ngomong pakai “lu” dan “gue”. Pas di dalam kelas, diam seribu bahasa. Kalau ngomong, itu pun berbisik-bisik. Isinya osip saja. Di lua kelas, gaya sok keren, ke dosen merasa sok paten hingga tidak mau menegur sapa. Dan itu adalah mahasiswa, orang yang (katanya) berpendidikan gitu loh…

Begitu banyak contoh degradasi etika dan sopan santun di kalangan remaja saat ini. Mahasiswa yang menyepelekan dosennya dengan menganggap angin lalu setiap tugas kuliahnya. Murid-murid yang menganggap enteng setiap teguran gurunya. Budaya basa basi yang kian memudar. 

Dan cobalah kita bertanya pada orang-orang tua. Sembari mengiyakan, barangkali tunjuk mencari kambing hitam akan diarahkan ke pengaruh globalisasi atau pengaruh barat. Ayolah, globalisasi apaan? Kita sendiri bahkan tidak tahu bagaimana budaya barat. Kalaulah melihat contoh di film-film barat, sinetron kita justru lebih tidak sopan dan tidak logis mengajarkan ketidaksopanan.

Cukup lama tinggal di Eropa sana membuat saya paham betul bagaimana budaya barat. Kendati bebas, tegur sapa antara tamu dengan tuan rumah (meski tidak berteman langsung) tetaplah ada. Walaupun katanya indifidualitstis, basa-basi antara sesama tetap ada. Anak-anak dengan sopan mengulurkan bantuan bagi orang tua yang membutuhkan. Kalau ada kenalan atau teman yang membutuhkan bantuan, biasanya tanpa pamrih dan tidak nanggung. Tidak ada orang yang meludah dan buang sampah sembarangan. Lingkungan jadi perhatian. Antri jadi budaya, di jalan tidak ada kebut-kebutan dan pamer kendaraan. Bergunjing itu pantangan. Di situlah wajah peradaban itu keliatan.

Istilah taimpik ndak di ateh, takuruang ndak di lua yang menggambarkan perilaku culas justru melekat erat, tidak hanya di kaum tua namun juga di kalangan muda. Nyontek, berbohong, plagiat tugas, PR jadi kebiasaan. Kalau di angkot maunya duduk dekat pintu, padahal jelas-jelas menutupi jalan orang lain. Sikap dan wajah ongeh mentang-mentang duduk di belakang stir mobil mudah sekali menemukannya. Belum lagi kebiasaan bergunjing; gak dari mulut ke mulut, gak di BBM-an.

Padahal, (dulunya ketika masih di sekolah SD dulu) generasi saya diajarkan betapa mulia dan beradabnya bangsa Indonesia sebagai orang timur. Ramah tamah dan sopan santun. Suka menolong dan bergotong royong. Namun, entah itu retorika atau memang itu hanya di jaman dahulu kala, peradaban semacam itu susah sekali mendapatinya. 

Kita terlalu banyak dicekoki contoh yang buruk-buruk. Mulai dari perilaku koruptor yang tak tahu malu. Pemerintah yang mencla-mencle. Tontonan sinetron yang tidak mendidik sama sekali (aneh banyak banget fans muda yang suka dengan bintang-bintang sinetron kacangan itu) yang isinya kekerasan dan keculasan. Dan contoh buruk itu bukan westernisasi dan globalisasi. Tapi itu murni produk dalam negeri. Budaya kita yang harusnya disaring, bukan westernisasi dan globalisasi.

Ketika sopan santun, hormat-menghormati dan saling menghargai itu memang tidak ada lagi, tidak sepatutnya lagi mencari kambing hitam dan menyalahkan keadaan. Sudah sepatutnya kita introspeksi. Bukan globalisasi, tapi diri sendiri, keluarga sendiri. Toh perilaku moral, sopan santun dan etika adalah didikan orang tua dan keluarga. Dan ini tidak bisa dipercayakan sepenuhnya di institusi pendidikan formal. Sejatinya, bukan pendidikan tinggi yang membuat orang menjadi berbudi. Namun menjadi berbudi pastinya menunjukkan kualitas sebagai orang yang berpendidikan.

No comments: