Bukittinggi
lebih dari satu dekade silam. Pagi hari adalah suasana yang menyegarkan hati
dan jiwa. Di saat udara masih dingin dan sinar matahari terhalang embun, anak-anak
sekolahan pergi sekolah berlilit jaket dan baju hangat. Mereka gembira dan
ceria. Kepulan uap yang terhembus dari mulut, kadang dipermainkan seperti
hembusan asap rokok. Ketika petang tiba, para lansia mulai membalut leher
dengan sarung dan sebo mereka, dan anak-anak muda tampil gaya dengan jaket
mereka.
Tapi itu
dulu. Sekarang, kota yang dulu sejuk dan dingin itu sudah panas dan gerah. Naiknya
suhu udara di Bukittinggi saat ini tidak hanya menjadi keluhan semata. Memakai
jaket di pagi hari hanya akan memaksakan gaya, karena akan membuat tubuh basah
berkeringat. Entah karena pengaruh udara, atau malah mode dan gaya, pakaian tank top dan minimalis di kalangan
remaja putri juga makin digemari. Bahkan di saat malam, selimut pun mulai tidak
diperlukan untuk menghangatkan.
Disadari
atau tidak, dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global sudah mengubah
kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang dulu indah dan menyenangkan. Dan disadari
atau tidak, perubahan iklim yang kian memprihatinkan itu justru akibat
berubahnya gaya hidup masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Kita boleh saja
mengarahkan tunjuk ke perusahaan-perusahaan besar yang terus menerus menggunakan bahan bakar
yang berasal dari fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas bumi. Namun
kadang kita juga alpa, bahwa perilaku sehari-hari kita juga ikut merugikan
kualitas lingkungan.
Bukan
pemandangan yang jarang kalau melihat anak sekolah dan kuliah yang membuang
sampah sembarangan. Membiarkan TV menyala walau tidak menikmati tontonan.
Menjadikan materi dan penampilan sebagai standar gengsi dan ukuran. Akibatnya,
kita jadi konsumtif dan boros terhadap lingkungan. Betapa banyak orang yang
demi gengsi menggunakan kendaraan pribadi walau jarak tempuh hanya dalam
hitungan jengkal. Dan betapa banyak pula anak muda yang gonta ganti gadget tanpa menyadari kalau di negara
ini belum mampu mengolah limbah
industry. Terlalu banyak contoh kalau disebutkan, namun sayangnya terlalu
sedikit yang punya kesadaran.
Salah satu
upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak perubahan iklim,
sejak pertengahan pekan lalu (26-29) telah diadakan “Climate Change Indonesia
Education Forum & Expo”. Selain
Pameran, juga ada Seminar Nasional, dan Sosialisasi UU maupun Peraturan dan
Ketetapan Pemerintah terbaru, yang terkait dengan masalah Perubahan Iklim, Pemanasan
Global dan dampaknya bagi umat manusia. Selain itu dibahas pula upaya-upaya
yang dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk mencegah meluasnya dampak
perubahan iklim.
Namun,
sekali lagi sayang seribu sayang. Dari sekian banyak seminar dan kampanye
lingkungan, belum banyak mengubah perilaku remaja kita. Padahal, begitu banyak
kabar pertakut yang siap mengubah tatanan hidup kita akibat terjadinya
perubahan iklim. Menurut situ LAPAN (Lembagan Penerbangan dan Antariksa
Nasional), salah satu akibat terburuk perubahan iklim di bidang pertanian di
daerah tropis seperti Indonesia adalah diperkirakan produktivitas pertanian
akan mengalami penurunan. Akibatnya, risiko bencana kelaparan akan meningkat. Selain
itu juga diperkirakan akan meningkat frekuensi kekeringan dan banjir yang akan
memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan
pangan di daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim
kemarau menjadi lebih panjang menyebabkan
gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim
dan perubahan pola hujan, juga mengakibatkan Indonesia harus mengimpor beras.
Nah, boleh
saja saat ini Bukittinggi dan daerah-daerah yang dulunya dingin mulai semakin
panas. Namun ke depan nantinya, ketika bumi ini tidak lagi memberikan pangan
yang cukup, kita baru sadar akan kesalahan yang telah kita perbuat. Dan untuk
mengubah perilaku yang tidak bersahabat dengan lingkungan, tidak perlu menunggu
waktu hingga kita harus makan batu atau kayu.
No comments:
Post a Comment