Pekik
kegembiraan baru saja terdengar dari para lulusan SMA. Setelah selama tiga
tahun bersitungkin di bangku
sekolah, akhirnya perasaan bebas itu
bisa dipekikkan juga. Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi terasa sangat
lama. Apalagi mengingat sistem pendidikan sekolah yang mengarahkan para siswa
pada satu muara akhir; lulus UN. Dan sistem itu sudah harus dihadapi para siswa
sejak pendidikan dasar. Alhasil,
kelulusan diekspresikan para pelajar sedemikian rupa, termasuk dengan mencoreng-coreng
di pakaian sekolah dan arak-arakan.
Tidak
perlulah membahas lagi kontroversialnya UN dan pelaksanannya. Sudah cukup
banyak yang bersuara dan menuliskan kegelisahan mereka tentang kebijakan yang
membuat siswa dan guru hanya mengejar target angka-angka. Saking sibuknya
dengan nilai di atas kertas, pendidikan moral dan kehidupan sosial siswa
terabaikan.
Namun,
perlulah juga menilik kebiasaan mencoret-coret pakaian sekolah para siswa yang
baru lulus SMA. Kalau dulu, corat-coret tidak hanya sebagai bentuk ekspresif,
pelampiasan kelulusan. Dalam tiap coretan ada nama dan tanda tangan para teman
setiap siswa. Coretan diiringi dengan tukar alamat. Tujuannya agar jadi
kenangan dan tetap bisa berhubungan surat jika seandainya terpisah jarak. Hari ini, isi dari coretan di pakaian putih
abu-abu itu relatif sama, meski ada semprotan cat pylox di sana sini. Cuma,
hari gini gitu loh… Di saat situs jejaring sosial; facebook, twitter, dan semacamnya
serta jaringan komunikasi yang semakin canggih lewat BBMan dan SMSan? Masih mau catat alamat di
baju?
Maka jadilah
sekarang, corat-coret hanya sebagai bentuk pelampiasan kululusan belaka. Pelampiasan itu makin menjadi-jadi dengan
aksi konvoy berkendaraan keliling kota, memamerkan baju yang semula putih abu-abu berubah meriah bak warna pelangi. Tidak cukup sampai
di baju, muka dan badan pun habis dipylox.
Mereka yang lulus bergembira ria dan bersuka cita. Mereka yang tidak,
merana dan bahkan mungkin mendendam.
Bersuka ria
sih boleh-boleh saja, asal tidak membuat
lingkungan dan orang lain merasakan sebaliknya. Masak sisa pylox kamu dipakai
untuk mencoreng dinding rumah orang dan fasilitas umum? Konvoynya kok juga
bikin jalan umum macet dan membahayakan pengguna jalan lain? Sudah gitu,
keamanan juga diabaikan dengan tidak menaati aturan lalu lintas.
Guys, ekpsresif sah-sah sajak. Tidak mau
menyumbangkan baju sekolah itu juga hak kamu. Cuma, kalau sudah mengganggu ya
nggak wajar lagi dong. Kesuksesan kan tidak harus diekpsresikan dengan cara
yang destruktif.
Dua jempol
buat kamu yang sudah lulus. Sebuah prestasi telah kamu raih dalam hidup. Namun sebuah
atau ratusan corengan di baju dan jalanan sekalipun tidak akan membuat
kesuksesan itu akan jadi bermakna. Karena sejatinya, makna kesuksesan itu ada
dalam diri kamu dan keluarga dan orang-orang disekeliling kamu. Perjalanan
hidup ini masih jauh ke depan dan banyak tantangan yang harus kamu taklukan.
Bagi yang mau kuliah, sebentar lagi SNMPTN akan menanti, dan itu artinya ada
tantangan akademis lagi yang harus dihadapi. Bagi yang tidak beruntung karena
faktor ekonomi, saatnya mulai menghadapi kompetisi di dunia profesi. Dalam setiap langkah itulah
keberhasilan harus ditorehkan, bukan sebaliknya mencoreng kesuksesan yang sudah
susah-susah kamu usahakan.
No comments:
Post a Comment