Translate

Tuesday, June 19, 2012

Dari "Rasa Sayange" hingga ke "Tor Tor"



Berikut ini adalah salah satu pengalaman memalukan saya sebagai bangsa Indonesia di kancah dunia. Pengalaman yang melibatkan hubungan dengan teman dari negeri jiran Malaysia. Pengalaman memalukan sekaligus menyadarkan saya betapa naifnya saya sebagai bangsa dari negara yang kaya budaya.


Pada konferensi di Doha, Qatar beberapa waktu lalu, saya berkesempatan berkenalan dengan utusan Malaysia. Perkenalan yang kemudian hingga sekarang berlanjut ke pertemanan. Suatu ketika, saat studi lapangan, saya bersama partisipan dari berbagai negara lainnya termasuk Malaysia berada dalam bus yang sama. Untuk membunuh kejenuhan, kami dari berbagai negara sepakat untuk menyanyikan lagu dari negara masing-masing.


Tiap partisipan yang berkebangsaan sama mulai mendendangkan lagu dari daerah mereka dengan meriah. Giliran teman-teman Malysia, mereka sepakat mengatakan akan menyanyikan lagu "Rasa Sayange", sambil menoleh pada kami yang dari Indonesia, salah satu dari mereka bertanya, "Kalian tahukah lagunya?". Dengan harga diri yang sedikit terusik saya membalas "Pastinya. Itukan lagu asli Indonesia."

Tidak satupun dari mereka yang mengubris celetukan protes saya. Mereka pun mengajak kami bernyanyi bersama. Sebagai pembuktian, kami pun bernyanyi bersama. Namun, nyanyian kami orang-orang Indonesia terhenti pada saat refrain saja. Teman-teman saya tetap nyaring suaranya hingga tiap bait pantun lagu asli Maluku itu.


Di situlah rasa malu itu muncul. Saya seperti tong kosong yang nyaring bunyinya. Kalaulah memang lagu itu asli warisan budaya Indonesia, mengapa saya tidak hapal akan bait-baitnya. Mengapa justru mereka yang fasih mendendangkannya. Saya sangat malu. Saya seperti menampar muka sendiri di antara wakil negara-negara lainnya.


Sekarang kejadian soal klaim budaya oleh Malaysia terjadi lagi. Sama seperti sebelumnya, kita, bangsa Indonesia ribut, kebakaran jenggot. Pertanyaannya, mengapa baru sekarang kita berang? Kemana kita selama ini? Apa pendidikan budaya yang kita berikan di sekolah? Lagu dan tarian apa yang kita ajarkan pada murid-murid?


Lihatlah di layar kaca. Anak-anak sekarang, jangankan lagu daerah, lagu yang dicekoki ke mereka saja tidak sesuai dengan umur mereka. Lihat pula tayngan televisi, berapa banyak tayangan seni budaya asli di acara-acara seremoni.


Bangsa kita terjebak dalam kehidupan konsumtif hingga terlalu sibuk memikirkan isi perut dan gaya. Penguasa dan pengambil kebijakan justru sibuk memperkaya pribadi dan kroni. Akibatnya kita lemah dalam menjaga aset budaya.


Sekali lagi (entah untuk yang ke berapa kalinya jharus dikatakan) kita perlu introspeksi. Seberapa jauh kita telah menghargai budaya kita sendiri. Kalau sekarang tari "Tor Tor", entah nanti apa lagi yang akan dicaploki. Kalau sekarang Malaysia, lusa atau nanti mungkin negara tetangga lainnya yang juga mengklaim satu, dua, tiga atau lebih budaya kita.

No comments: