Dua pemandangan kontradiktif fase kehidupan
mahasiswa saya saksikan dalam satu bulan ini. Di beberapa perguruan
tinggi swasta, kumpulan mahasiswa menanggung beban mental mengikuti
kegiatan Orientasi Study dan Pengenalan Kampus (Ospek). Di beberapa
perguruan tinggi swasta lainnya, ada sejumlah mahasiswa dengan rasa
antusias menyiapkan kelulusan atau wisuda.
Ospek sepertinya sudah
menjadi kewajiban bagi mahasiswa baru untuk diikuti. Entah hukum dan
aturan mana yang menuntut semua mahasiswa baru harus ikut kegiatan itu.
Yang pasti, semua mahasiswa baru ikut, kecuali yang betul-betul ada
halangan khusus. Kalau tidak, alamat akan dibuli oleh para senior.
Banyak
hal yang tidak manusiawi terjadi pada masa orientasi yang semestinya
bisa dijadikan kegiatan positif itu. Mulai dari penampilan yang
diharuskan meniru penampilan orang gila, hingga kegiatan fisik yang
merendahkan manusia ke titik nol; mandi di kubangan, berendam di
comberan, menjilat senior agar diberi tanda tangan, dan masih banyak
lagi. Padahal, siapapun tahu bahwa aktivitas tolol itu tidak akan
membuat mahasiswa baru akan menjadi orang sukses selama perkuliahan.
Tidak ada satupun dari kegiatan itu yang bisa menambah kualitas
mahasiswa baru sebagai manusia.
Alih-alih bisa akrab, Ospek menjadi
ajang balas dendam bagi mahasiswa pendahulu. Ospek manjadi kegiatan
untuk tebar pesona. Ospek menjadi momen jual tampang yang tanpa disadari
para senior tersebut betapa sebenarnya mahasiswa baru itu jijik melihat
muka dan perangai mereka. Meski itu disadari, sayangnya tradisi bodoh
itu masih terus terjadi di lingkungan kampus yang semestinya terdiri
dari orang-orang berpendidikan.
Wisuda adalah periode puncak dari
kehidupan sebagai mahasiswa. Di saat itulah momen yang paling
dinanti-nanti. Momen yang membahagiakan sekaligus mengharukan. Bahagia
bisa menjadi sarjan, sedih karena harus berpisah dengan teman-teman
seperjuangan selama kurun 4-5 tahun (malah ada yang 6 tahun!!).
Berbagai
persiapan untuk wisuda tidak kalah memberi beban moral. Memperbaiki
skripsi yang sudah disidangkan, menyiapkan pakaian wisuda yang
barangkali termahal seumur hidup, transportasi untuk keluarga dan
tauladan sekampung, hingga memikirkan pendamping wisuda.
Kalau
dihitung-hitung, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
wisuda. Bisa jadi biayanya sama banyak dengan uang tiga atau empat kali
semester. Kerepotan makin dirasa pada hari H. Bagi yang cewek, sebelum
subuh sudah harus ke salon untuk pasang bedak tujuh atau mungkin sepuluh
lapis plus pasang baju yang katanya indah dan mahal itu.
Satu hal
yang mungkin mereka lupa. Untuk kegiatan yang hanya setengah hari itu,
mereka telah membuang banyak biaya hanya demi penampilan semu. Toh
kebaya itu juga hanya akan ditutupi jubah. Bedak itu juga akan pecah
karena panas. Yang paling krusial, seremonial wisuda hanyalah legitimasi
pergantian status dari mahasiswa menjadi seorang penganggur. Beruntung
bagi yang sudah punya kerjaan atau koneksi pejabat dan pengusaha yang
bisa carikan kerja.
Ospek dan wisuda adalah hal yang berbeda. Namun
dua hal tersebut semestinya bisa dilihat dari sudut pandang berbeda yang
bisa menjadikan kita menjadi pribadi yang bernilai bukan hanya karena
kebiasaan dan penampilan. Karena dalam realita hidup, hanya pribadi yang
baiklah yang akan mendapat tempat di masyarakat.
No comments:
Post a Comment