Translate

Thursday, January 24, 2013

Ospek dan Wisuda

Dua pemandangan kontradiktif fase kehidupan mahasiswa saya saksikan dalam satu bulan ini. Di beberapa perguruan tinggi swasta, kumpulan mahasiswa menanggung beban mental mengikuti kegiatan Orientasi Study dan Pengenalan Kampus (Ospek). Di beberapa perguruan tinggi swasta lainnya, ada sejumlah mahasiswa dengan rasa antusias menyiapkan kelulusan atau wisuda.
Ospek sepertinya sudah menjadi kewajiban bagi mahasiswa baru untuk diikuti. Entah hukum dan aturan mana yang menuntut semua mahasiswa baru harus ikut kegiatan itu. Yang pasti, semua mahasiswa baru ikut, kecuali yang betul-betul ada halangan khusus. Kalau tidak, alamat akan dibuli oleh para senior.
Banyak hal yang tidak manusiawi terjadi pada masa orientasi yang semestinya bisa dijadikan kegiatan positif itu. Mulai dari penampilan yang diharuskan meniru penampilan orang gila, hingga kegiatan fisik yang merendahkan manusia ke titik nol; mandi di kubangan, berendam di comberan, menjilat senior agar diberi tanda tangan, dan masih banyak lagi. Padahal, siapapun tahu bahwa aktivitas tolol itu tidak akan membuat mahasiswa baru akan menjadi orang sukses selama perkuliahan. Tidak ada satupun dari kegiatan itu yang bisa menambah kualitas mahasiswa baru sebagai manusia.
Alih-alih bisa akrab, Ospek menjadi ajang balas dendam bagi mahasiswa pendahulu. Ospek manjadi kegiatan untuk tebar pesona. Ospek menjadi momen jual tampang yang tanpa disadari para senior tersebut betapa sebenarnya mahasiswa baru itu jijik melihat muka dan perangai mereka. Meski itu disadari, sayangnya tradisi bodoh itu masih terus terjadi di lingkungan kampus yang semestinya terdiri dari orang-orang berpendidikan.
Wisuda adalah periode puncak dari kehidupan sebagai mahasiswa. Di saat itulah momen yang paling dinanti-nanti. Momen yang membahagiakan sekaligus mengharukan. Bahagia bisa menjadi sarjan, sedih karena harus berpisah dengan teman-teman seperjuangan selama kurun 4-5 tahun (malah ada yang 6 tahun!!).
Berbagai persiapan untuk wisuda tidak kalah memberi beban moral. Memperbaiki skripsi yang sudah disidangkan, menyiapkan pakaian wisuda yang barangkali termahal seumur hidup, transportasi untuk keluarga dan tauladan sekampung, hingga memikirkan pendamping wisuda.
Kalau dihitung-hitung, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk keperluan wisuda. Bisa jadi biayanya sama banyak dengan uang tiga atau empat kali semester. Kerepotan makin dirasa pada hari H. Bagi yang cewek, sebelum subuh sudah harus ke salon untuk pasang bedak tujuh atau mungkin sepuluh lapis plus pasang baju yang katanya indah dan mahal itu.
Satu hal yang mungkin mereka lupa. Untuk kegiatan yang hanya setengah hari itu, mereka telah membuang banyak biaya hanya demi penampilan semu. Toh kebaya itu juga hanya akan ditutupi jubah. Bedak itu juga akan pecah karena panas. Yang paling krusial, seremonial wisuda hanyalah legitimasi pergantian status dari mahasiswa menjadi seorang penganggur. Beruntung bagi yang sudah punya kerjaan atau koneksi pejabat dan pengusaha yang bisa carikan kerja.
Ospek dan wisuda adalah hal yang berbeda. Namun dua hal tersebut semestinya bisa dilihat dari sudut pandang berbeda yang bisa menjadikan kita menjadi pribadi yang bernilai bukan hanya karena kebiasaan dan penampilan. Karena dalam realita hidup, hanya pribadi yang baiklah yang akan mendapat tempat di masyarakat.

No comments: